Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq
bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Musa Al-Asy’ari
adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang
masyhur. Beliau Abul Hasan Al-Asy’ari Rahimahullah dilahirkan pada tahun 260 H di Bashrah, Irak. Beliau
Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman
pemahamannya. Demikian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan
kezuhudannya.
Guru-Gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah. Ketika
beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah memasuki
kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin
Yahya as-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah
al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin
Khalaf al-Bashri, dan para ulama thabaqah mereka.
Taubatnya dari aqidah Mu’tazilah
Al-Hafizh
Ibnu Asakir berkata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima
Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad
al-Qairawani berkata, ‘Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya
mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau
seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15
hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’
Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar seraya mengatakan:
Wahai manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya sama-sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana yang batil, maka aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepadaku yang aku tuliskan dalam kitab- kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelumnya aku yakini, sebagaimana aku lepaskan bajuku ini.
Beliau
pun melepas baju beliau dan beliau serahkan kitab-kitab tersebut kepada
manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab tersebut
mereka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui kedudukan
yang agung dari Abul Hasan al-Asy’ari dan menjadikannya sebagai
imam.’”
Para pakar hadits (Ashhabul hadits) sepakat bahwa Abul Hasan al-Asy’ari adalah salah seorang imam dari ashhabul hadits.
Beliau
berbicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang
menyeleweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan
Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang
terhunus atas Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.
Abu
Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran
Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada
tahun 300 H.”
Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Khalikan
berkata dalam kitabnya, Wafayatul A’yan (2/446), ”Abul Hasan al-Asy’ari
awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah kemudian bertaubat.”
Al-Hafizh
Ibnu Katsir berkata dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah (11/187),
“Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah
kemudian bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah di Bashrah di atas mimbar,
kemudian beliau tampakkan aib-aib dan kebobrokan pemikiran Mu’tazilah.”
Al-Hafizh
adz-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar, ”Abul
Hasan alAsy’ari awalnya seorang Mu’tazilah mengambil ilmu dari Abu Ali
al-Juba’i, kemudian beliau lepaskan pemikiran Mu’tazilah dan jadilah
beliau mengikuti Sunnah dan mengikuti para imam ahli hadits.”
Tajuddin
as-Subki berkata dalam kitabnya, Thabaqah Syafi’iyyah al-Kubra
(2/246), ”Abul Hasan al-Asy’ari - mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama
40 tahun hingga menjadi imam kelompok Mu’tazilah. Ketika Alloh
menghendaki membela agamaNya dan melapangkan dada beliau untuk ittiba’
kepada al-Haq maka beliau menghilang dari manusia di rumahnya.”
(Kemudian Tajuddin as-Subki menyebutkan apa yang dikatakan oleh
al-Hafizh Ibnu Asakir di atas).
Ibnu Farhun al-Maliki berkata
dalam kitabnya Dibajul Madzhab fi Ma’rifati A’yani Ulama’il Madzhab
(hal. 193), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah,
kemudian keluar dari pemikiran Mu’tazilah kepada madzhab yang haq
madzhabnya para sahabat. Banyak yang heran dengan hal itu dan bertanya
sebabnya kepada beliau, Maka beliau menjawab bahwa beliau pada bulan
Ramadhan bermimpi bertemu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang
memerintahkan kepada beliau agar kembali kepada kebenaran dan
membelanya, dan demikianlah kenyataannya - walhamdulillahi Taala-.”
Murtadha
az-Zabidi berkata dalam kitabnya Ittihafu Sadatil Muttaqin bi Syarhi
Asrari lhya’ Ulumiddin (2/3), ”Abul Hasan al-Asy’ari mengambil ilmu
kalam dari Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Mu’tazilah), kemudian beliau
tinggalkan pemikiran Mu’tazilah dengan sebab mimpi yang beliau lihat,
beliau keluar dari Mu’tazilah secara terang-terangan, beliau naik mimbar
Bashrah pada hari Jum’at dan menyeru dengan lantang, ‘Barangsiapa yang
telah mengenaliku maka sungguh telah tahu siapa diriku dan barangsiapa
yang belum kenal aku maka aku adalah Ali bin Ismail yang dulu aku
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya Allah tidak bisa
dilihat di akhirat dengan mata, dan bahwasanya para hamba menciptakan
perbuatan-perbuatan mereka. Dan sekarang lihatlah aku telah bertaubat
dari pemikiran Mu’tazilah dan meyakini bantahan atas mereka,’ kemudian
mulailah beliau membantah mereka dan menulis yang menyelisih pemikiran
mereka.”
Kemudian az-Zabidi berkata, “Ibnu Katsir berkata,
‘Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari memiliki tiga fase pemikiran: Pertama mengikuti pemikiran Mu’tazilah yang kemudian beliau keluar darinya, Kedua menetapkan tujuh sifat aqliyyah, yaitu; Hayat, Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, dan Kalam, dan beliau menakwil sifat-sifat khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang semisalnya. Ketiga adalah menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tasybih sesuai manhaj para sahabat yang merupakan metode beliau dalam kitabnya al-Ibanah yang beliau tulis belakangan.’”
Murid-muridnya:
Di
antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan
al-Karmani, Abu Zaid al-Marwazi, Abu Abdillah bin Mujahid al-Bashri,
Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad al-Iraqi, Zahir bin Ahmad
as-Sarakhsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-Kawwaz Asy-Syairazi,
dan yang lainnya.
Karyanya
Di
antara karya beliau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah,
Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala
Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin,
Khalqul A’mal, Kitabush Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar, al-Khash
wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy-Syarh wa Tafshil,
an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jumlatu Maqalatil
Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul
Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin,
Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir
fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an
al-Mukhtazin, dan yang lainnya.
al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari memiliki 55 tulisan.
Di antara perkataan-perkataannya:
Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari Rohimahullah berkata dalam kitabnya al-Ibanah an Ushuli Diyanah hal. 17: Apabila seseorang bertanya, “Kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyakinanmu yang engkau beribadah kepada Allah dengannya!” Jawablah, “Pendapat dan keyakinan yang kami pegangi adalah berpegang teguh dengan kitab Rabb kita, sunnah Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para ahli hadits. Kami berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.”
Ringkas
perkataan kami bahwasanya kami beriman kepada Allah, para malaikatNya,
kitab-kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari
sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya
dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, kami tidak akan menolak
sedikitpun. Sesungguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan
yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung
seluruh makhluk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan urusanNya. Allah
mengurusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar. Surga dan
neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran
sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur. Allah
bersemayam di atas Arsy seperti dalam firmanNya: “Alloh bersemayam di
atas ‘Arsy”. (QS. Thaha: 5)
Allah memiliki dua tangan,
tapi tidak boleh ditakyif, seperti dalam firmanNya: “Telah Kuciptakan
dengan kedua tangan-Ku”. (QS. Shad: 75) dan firmanNya “Tetapi kedua-dua
tangan Alloh terbuka.” (QS. al-Maidah: 64)
Allah memiliki dua mata tanpa ditakyif, seperti dalam firmanNya:“Yang berlayar dengan pengawasan mata Kami.” (QS. al-Qamar: 14)
Siapa
yang menyangka bahwa nama-nama Allah bukanlah Allah maka sungguh dia
sesat, Allah berilmu seperti dalam firmanNya “Dan tidak ada seorang
perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan
ilmu-Nya.” (QS. Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah
mendengar dan melihat, kita tidak menafikannya seperti dilakukan oleh
orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan Khawarij.”
Beliau berkata dalam kitabnya Maqalatul lslamiyyin wa lkhtilafil Mushallin hal. 290: Kesimpulan apa yang diyakini oleh ahli hadits dan Sunnah bahwasanya mereka mengakui keimanan kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak akan menolak sedikitpun. Dan bahwasanya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makhluk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusanNya.
Mereka
memandang wajibnya menjauhi setiap penyeru kepada kebid’ahan dan
hendaknya menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an, menulis
atsar-atsar, dan menelaah fiqih, dengan selalu tawadhu’, tenang,
berakhlak yang baik, menebar kebaikan, menahan diri dari mengganggu
orang lain, meninggalkan ghibah dan namimah, dan berusaha memperhatikan
keadaan orang yang kekurangan.
Inilah kesimpulan dari
apa, yang mereka perintahkan, amalkan, dan mereka pandang, dan kami
mengatakan sebagaimana yang kami sebutkan dari mereka dan kepada ini
semua kami bermadzhab, dan tidaklah kami mendapatkan taufiq kecuali
dari Allah.
Wafatnya
Al-Imam
Abu Hasan al-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah
meridhoinya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.
Sumber: Siyar A’lamin Nubala’ oleh Adz-Dzahabi 15/85-90, dan Tarjamah Abul Hasan al-Asy’ari.