Pandangan Ibnu Atha'illah tentang Maqam Sufi

Dalam pandangan tasawuf secara umum, konsep maqam dan hal adalah dua konsep yang sangat berhubungan dengan salik (pejalan sufi).

Maqam adalah tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal maqam taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqam ini ketika dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqam adalah suatu keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).

Sedangkan yang dimaksud dengan hal sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang salik tanpa melalui proses usaha riyadhah. Namun, dalam konsep maqam ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia memandang bahwa suatu maqam dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena jika maqam dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqam atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri. Jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqam hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).

Mengenai maqam, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
  1. Maqam taubat
  2. Maqam zuhud
  3. Maqam shabar
  4. Maqam syukur
  5. Maqam khauf
  6. Maqam raja’
  7. Maqam ridha
  8. Maqam tawakkal
  9. Maqam mahabbah
Maqam Taubat

Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.


Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.


Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.


Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.


Maqam Zuhud

Dalam pandangan Ibn ‘Atha’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Zahir Jali seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara halal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. Dan Zuhd Batin Khafy seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan dhohir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.


Hal yang dapat membangkitkan maqam zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka salik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.


Maqam zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa hasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Atha’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau hasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.


Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.

Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh salik, maka dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.


Maqam Sabar

Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.

Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.

Sabar atas keharaman
adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah.


Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.

Maqam Syukur


Syukur dalam pandangan Ibn ‘Atha’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, syukur dengan anggota tubuh, yaitu syukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, syukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Atha’illah:


Dalam syukur menurut Ibn ‘Atha’illah terdapat tiga bagian; syukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), syukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan syukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.


Ibn ‘Atha’illah juga menjelaskan bahwa bentuk syukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.


Lebih lanjut Ibn ‘Atha’illah memaparkan bahwa syukur juga terbagi menjadi 2 bagian; Syukur dzahir dan Syukur bathin. Shukur Dzahir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan
Syukur Bathin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari syukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Atha’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa syukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bersyukur atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah (kenikmatan itu).

Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Atha’illah.

Lebih lanjut Ibn ‘Atha’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bersyukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.

Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, syukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bersyukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan syari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.


Pengejawantahan syukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.


Maqam khauf dan Raja'

Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya hal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqam dan hal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.

“Bukti dari makna ini mengharuskan maqam khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqam khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”

Khauf seorang salik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan raja’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari raja’. Maqam khauf adalah maqam yang membangkitkan maqam raja’. Raja’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.

Ibn ‘Atha’illah menyatakan bahwa jika salik ingin agar dibuka baginya pintu raja’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqom (kedudukan), hal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atha’illah:

”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu roja’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”

Raja’ bukan semata-mata berharap, raja’ harus disertai dengan perbuatan. Jika raja’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang salik untuk menyertakan raja’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika raja’ sudah ada dalam diri salik, maka raja’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan raja’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.

Maqam Ridha dan Tawakkal


Ridha dalam pandangan Ibn ‘Atha’illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Ma’idah ayat 119:

"Allah ridha terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah".

dan juga sabda Rasulullah SAW.:

"Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah".

Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah. Jika maqam ridha sudah ada dalam diri salik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām ridha dan maqām tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.

Maqam tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hud ayat: 123
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).

Sebagaimana maqam-maqam lainnya, maqam ridha dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Atha’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.

“Perencanaan (tadbir) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqat tadbir) juga terkait dengan maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang ridha maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”

Hikmah ridha kepada qadha’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, dari pada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.

Dasar ridha akan qadha’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”

Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadha’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadha’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.

Ridha dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan ridha atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.

Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.

Menyerah kepada qadha’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.

Maqam Mahabbah

Imam al-Ghazali berpendapat bahwa maqam mahabbah adalah maqam tertinggi dari sekian maqam-maqam dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa mahabbah adalah tujuan utama dari semua maqam.

Namun, Ibn ‘Atha’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep mahabbah bahwa dalam mahabbah seorang salik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa salik yang telah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta salik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.

Mahabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqam, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqam setelah mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqam, menjadi akibat dari seluruh maqam, seperti rindu, senang, ridha dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqam sebelum mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya.

Sumber: Sufism