Manakah Aqidah Yang Shahih Dan Yang Bathil

Aqidah Islamiyah ialah iman yang bersifat pasti kepada Allah baik dalam hal uluhiyah, rububiyah, asma’ maupun sifat-Nya, kepada para malaikat, rasul-rasul, hari akhir, taqdir   baik atau buruk dan kepada segenap apa yang diberitakan oleh nushus shahihah  (nash-nash yang sahih) berupa perkara-perkara ushuluddin (pokok-pokok Agama), serta segala pemberitaan mengenai hal-hal ghaib. Juga iman kepada apa yang menjadi ijma’ (kesepakatan) As-Salafu Ash-Shalih, serta menyerah total kepada Allah baik dalam masalah hukum; perintah, takdir, maupun syari’at-Nya dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan taat, ittiba’ dan bertahkim kepada beliau.

Pengertian Aqidah

1.  Menurut Bahasa:
  • Berasal dari Al-‘aqdu artinya ikatan yang kuat. Bisa pula berarti  kepercayaan yang kokoh.
  • Ikatan janji, terkadang juga disebut aqdun.
  • Sesuatu yang bisa membuat hatui seseorang menjadi terikat kuat dan pasti padanya,  disebut aqidah.
2.  Menurut Istilah Umum:
Ialah  keyakinan dan ketetapan yang bersifat pasti tanpa ada keraguan sedikitpun bagi  pelakunya. Aqidah dalam pengertian umum ini berlaku untuk keyakinan terhadap  al-haq maupun terhadap al-batil.

3. Pengertian Aqidah Islamiyah:
Ialah: iman yang bersifat pasti kepada Allah baik dalam hal uluhiyah, rububiyah,  asma’ maupun sifat-Nya, kepada para malaikat, rasul-rasul, hari akhir, taqdir  baik atau buruk dan kepada segenap apa yang diberitakan oleh nushus shahihah (nash-nash yang sahih) berupa perkara-perkara ushuluddin (pokok-pokok din), serta segala pemberitaan mengenai hal-hal ghaib. Juga iman kepada apa  yang menjadi ijma’ (kesepakatan) As-Salafu Ash-Shalih, serta menyerah total kepada Allah baik dalam masalah hukum; perintah, takdir, maupun syari’at-Nya  dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan taat, ittiba’ dan bertahkim kepada beliau.

Pokok Bahasan Ilmu Aqidah
Aqidah jika ditilik kedudukannya sebagai ilmu menurut mahfum Ahlu Sunnah mencakup  bahasan: at-tauhid (rububiyah, uluhiyah, asma’ dan sifat), al-iman, al-islam,  perkara ghaibiyat, nubuwat, taqdir, al-akhbar (berita-bertita), landasan-landasan  hukum qath’i dan semua permasalahan ushuluddin serta aqidah.

Istilah Lain Ilmu Aqidah
Ilmu  aqidah mempunyai beberapa istilah yang penyebutannya, antara Ahlu Sunnah dengan  firqah-firqah lainnya berbeda. Beberapa istilah ilmu aqidah menurut ahlu sunnah,  yakni :
  1. Al-‘Aqidah(al-I’tiqad dan al-‘aqaid) misalnya,  istilah aqidah salaf atau aqidah ahlu atsar dan lain-lain.
  2. At-Tauhid, sebab pembahasannya berkisar mengenai tauhidullah baik uluhiyah, rububiyah maupun al-asma’ was-sifat.
  3. As-Sunnah, as-sunnah ialah ath-thariqah: jalan atau cara. Aqidah salaf disebut as-sunnah, dikarenakan ittiba’-nya  mereka (kaum salaf) kepada cara-cara ar-rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam memahami aqidah.
  4. Ushuluddin, mencakup rukun iman, rukun Islam, masalah-masalah qath’iyah (pasti) dan apa-apa yang telah disepakati oleh para imam.
  5. Al-Fiqhul Akbar, merupakan kebalikan dari Al-Fiqhul Ashgar (hukum-hukum ijtihadiyah).
  6. Asy-Syari’ah, artinya apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, berupa sunnah-sunnah petunjuk. Dan yang paling pokok adalah ushuluddin.
  7. Al-Iman, mencakup semua permasalahan I’tiqadiyah.
Itulah  beberapa istilah paling masyhur bagi Ahli Sunnah tentang ilmu aqidah. Terkadang dalam istilah tersebut ada yang mempunyai kesamaan istilah dengan firqah-firqah lain, seperti Asy’ariyah.
Sedangkan  beberapa istilah ilmu aqidah menurut firqah-firqah lain, yakni:

  1. Ilmu kalam, istilahnya kaum mutakallimin seperti, Al-Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
  2. Filsafat, sebutan bagi para filosof dan pengagumnya.
  3. Tasawuf, terkenal bagi sebagian kalangan kaum filosof, sufi, orientalis dan sebagainya. Istilah ini adalah istilah bid’ah
  4. Ilahiyat (Teologi), dipakai oleh Ahlul Kalam, para filosof, orientalis dan pengikutnya. Intinya adalah filsafat dan logika ketuhanan.
  5. Metafisika (alam dibalik kenyataan), istilah yang hampir identik dengan istilah ilahiyat, digunakan oleh kaum filosof dan sebangsanya.
Semua  istilah ini adalah istilah yang batil, dan tidak dapat diterapkan bagi ilmu  aqidah. Disamping itu orang sering menyebut bahwa landasan atau kaidah berfikir  yang diyakini dan diimani dinamakan aqidah, walaupun (penyebutan tersebut) batil  atau tidak berlandaskan pada dalil ‘aqli maupunnaqli.

Beberapa  Manhaj yang ditempuh untuk menetapkan masalah ‘Aqaid

1. Manhaj yang berpegang pada akal dan mendustakan para Rasul.
Yakni  orang-orang yang menolak untuk " ittiba’ " kepada para rasul yang telah datang membawa berita benar. Sebaliknya mereka mencoba mengenal hakekat yang ada dibalik alam semesta ini dengan akal fikirannya semata. Sebab mereka berkeyakinan bahwa  belajar dari para rasul berarti kedangkalan dan tidak kreatif. Jadi mereka akan selalu menolak dalil-dalil yang jelas datangnya dari wahyu.

2. Manhaj  para Filosof dan Mutakallimin
Suatu manhaj yang masih mengakui ajaran para rasul Allah, namun tidak bisa  melepas ketergantungannya kepada hawa nafsu dalam memahami hal-hal yang berada di luar jangkauan akal fikirannya, seperti persoalan yang menyangkut masalah-masalah ghaib.
Diantara  kelompok nomor dua ini adalah orang-orang yang menolak berhujjah, dalam masalah aqidah, dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawattir yang dilalahnya tidak qath’i. Sedangkan terhadap hadits-hadits ahad mereka menolak sama   sekali dan tidak memperbolehkannya dijadikan hujjah, baik dalam masalah   aqidah maupun dalam masalah hukum. Yang termasuk kelompok ini, yaitu Mu’tazilah  dan Khawarij.

3. Manhaj kaum Sufi
Banyak  di kalangan kaum sufi yang beranggapan bahwa ada cara khusus (thariqah) untuk mengenal dan mengungkap rahasia tuhan, rahasia alam ghaib dan rahasia  hukum. Cara khusus tersebut dinamakan Thariqul-Kasyfi (cara mengungkap  rahasia). Mereka memiliki model periwayatan seperti, “Telah bercerita hatiku dari Tuhanku…” Menurut mereka, itulah cara yang paling tepat, sebab cara-cara lain yang bersumber dari ulama adalah periwayatan fulan dari fulan, dan dari  si fulan (lainnya) dari Rasulullah dari Jibril. Adapun cara (thariqah) ereka (kaum sufi) adalah melalui pembicaraan hati yang berasal dari tuhannya. Mereka lupa bahwa din yang dibawa oleh Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari Allah, adalah cara (thariqah) satu-satunya yang telah diridhai Allah buat kita. Sedang thariqah mereka adalah jalan  yang tidak bisa dijadikan hujjah, tidak bisa dijadikan landasan bagi aqidah maupun hukum dan tidak berdasar sama sekali. Sementara itu, setan telah  banyak memasukkan unsur kebatilan melalui cara ini kepada para pengikutnya.

4. Manhaj As-Salafush-Shalih
Siapa saja yang memperhatikan setiap pernyataan As-salafush-Shalih pasti mengetahui bahwa mereka telah menetapkan permasalahan aqa’id berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mereka tidak membedakan antara hadits-hadits mutawatir dengan hadits-hadits ahad (yang shahih/tsabit) sebagai hujjah, baik dalam persoalan aqidah maupun persoalan ahkam (hukum).
Tiada  satu pun dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang  menyeleweng dari ketetapan  itu. Demikian pula imam-imam pembawa petunjuk,  seperti imam yang empat. Bahkan generasi As-Salafush-Shalih beserta seluruh   pengikutnya pada setiap zaman selalu mengecam keras kepada setiap orang yang  ingin meninggalkan hadits-hadits dan nash-nash untuk kemudian berpijak  mendahulukan ra’yu.

5. Manhaj orang yang menolak Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam masalah Aqidah
Dasar  pijak mereka sebenarnya bersumber dari dasar pijak kaum Khawarij dan  Mu’tazilahyang menolak hadits ahad sebagai hujjah, baik  bagi masalah aqidah maupun ahkam. Golongan kelima ini mengatakan, “ Hadits-hadits  ahad tidak memberi faedah keyakinan (kepastian), sedangakan masalah aqidah mestilah dibangun berdasarkan keyakinan (harus sesuatu yang pasti, red). Dan  Al-Qur’an sendiri mencela orang yang mengikuti zhan (sangkaan) serta mencela orang yang bersandar pada dalil yang tidak memberikan faedah ilmiah. “Mereka  juga membawakan ayat :
“Dan  janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’:36)
Golongan  ini tidak segan-segan melakukan penipuan besar-besaran dengan mengatakan bahwa  manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur ahli-ilmi, seperti dinyatakan oleh Badrani Abu Al-‘Anain dan Syaikh Mahmud Syaltut.

Bahkan sebagian mereka mengklaim bahwa hal itu telah disepakati oleh seluruh ahli-ilmi. Padahal kenyataanya, pernyataan para imam justru sebaliknya. Keyakinan kelompok ini, bahwa hadits ahad tidak bisa memberikan apa-apa melainkan zhan (prasangka) belaka, hal itu telah menjadi aqidah bagi mereka. Padahal untuk  menetapkannya sebagai aqidah mestinya memerlukan dalil yang qath’i. Sebab,  masalah aqidah haruslah dibangun berdasarkan “Al-yakin”. Tetapi, nyatanya qath’i itu tidak kunjung ada kecuali hawa nafsu dan ra’yu mereka.

Kedudukan Sunnah Nabawiyah bagi Aqidah
 
Telah  menjadi kesepakatan seluruh umat Islam generasi pertama, bahwa Sunnah Nabawiyah  merupakan sumber rujukan kedua dan terakhir bagi syari’at Islam yang meliputi semua aspek kehidupan, termasuk diantaranya perkara-perkara ghaibiyah,   ‘i’tiqadiyah (aqidah), hukum amaliyah,siyasah (politik)  ataupun tarbiyah (pendidikan).

Oleh karena itu, tidak diperkenankan sedikit pun menyelisihi sunnah tersebut dalam rangka mengikuti ra’yu(pendapat), ijtihad atau qiyas apapun. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah dalam akhir kitabnya Ar-Risalah, bahwa : “Tidaklah halal qiyas, adapun khabar ada” atau seperti ungkapan yang terkenal di kalangan ulama ushul generasi  terakhir yang mengatakan : “Jika terdapat atsar, maka batalah nadhar  (mencari-cari tafsirnya, pen).

Al-Qur’an  dan sunnah juga secara tegas memerintahkan kembali kepada keduanya dalam  berbagai hal. Dengan demikian, Sunnah Nabawiyah termasuk hadits ahad,  merupakan hujjah bagi masalah ‘aqaid maupun ahkam

Beberapa  dalil wajibnya berpegang kepada hadits ahad dalam aqidah ?
Lebih  dari dua puluh dalil, seperti disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ash-Shawa’iqul-Mursalah, semuanya menunjukkan bahwa hadits-hadits ahad yang shahih berfaedah  (bisa dugunakan, red) sebagai dasar keyakinan.
Contoh dalil :
  1. Ketika ada seorang sahabat datang kepada kaum muslimin yang sedang shalat Subuh di masjid Quba dengan membawa berita bahwa qiblat telah dipindahkan ke Ka’bah, maka mereka menerima berita itu dan beralih qiblat. Ini menunjukkan bahwa dari sahabat tadi berfungsi sebagai ilmu yang mesti diterima. Peristiwa pemberitaan satu orang seperti di atas banyak dialami oleh para sahabat radhiallahu’anhum.Sebagaimana diutusnya Mu’adz bin Jabal dalam sebuah riwayat yang shahih (Al-Bukhari dan Muslim) untuk berda’wah ke Yaman.
  2.  Firman Allah Ta’ala:“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita  maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat :6) Dalam salah satu qira’ah kalimat fatabayyanu dibaca fatatsabbatu (carilah kemantapan), ini bararti bahwa seorang yang adil (bukan fisik), jika ia membawa berita, maka beritanya merupakan hujjah dan tidak wajib mencari kemantapan kebenaran  beritannya sebab bisa diambil langsung.
  3. Firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”  (Al-Israa’ : 36)

Telah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak zaman sahabat senantiasa mengikuti berita-berita ahad, mengamalkannya dan menetapkan dengannya perkara ghaib serta hakekat I’tiqadiyah. Seperti, berita tentang awal mula diciptakannya makhluk dan tanda-tanda hari  kiamat. Bahkan dengan hadits-hadits ahad ini mereka menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala. Seandainya berita ahad ini tidak memberikan faedah ilmiah dan tidak menetapkan bidang aqidah, berarti para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta  imam-imam Islam semuanya telah mengikuti sesuatu yang tidak berdasarkan kepada ilmu. Dengan kata lain, firman Allah dalam ayat Al-Isra’: 36 tersebut dan ayat-ayat  lainnya tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak hadits ahad sebagai hujjah  ilmiah.

Jadi  tidak dijadikannya hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah adalah termasuk bid’ah.
Secara  umum, dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, tindakan-tindakan sahabat dan pernyataan  para ulama adalah dalil yang qath’I bagi wajibnya menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam setiap persoalan syari’ah, baik mengenai persoalan i’tiqodiyah  maupun permasalahan amaliyah. Dan pemisahan antara keduanya merupakan bid’ah yang tidak pernah dikenai oleh salafu shalih.

Oleh karenanya, Al-‘alamah Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan dalam I’lamul Muwaqi’in  (2:24), bahwa pembedaan tersebut batil berdasarkan ijma’ umat Islam. Karena  sesungguhnya hadits ahad tetap harus dijadikan hujjah bagi masalah perberitaan  ilmiah (yakni, aqidah), sebagaimana ia juga merupakan hujjah bagi masalah amaliah,  terutama karena hukum-hukum amaliah mencakup pemberitaan dari Allah bahwa Dia  telah menyari’atkan suatu ketetapan, telah mewajibkannya dan telah meridhainya  sebagai din. Maka syari’at dan agamanya kembali kepada asma’ dan sifat-Nya. Para sahabat, tabi’in, tabi’untuk tabi’in, ahlul-hadits dan ahlus-sunnah, terus berhujjah dengan khabar-khabar ahad ini untuk masalah sifat-sifat, taqdir, asma’  dan ahkam. Tidak pernah terbetik suatu berita pun dari salah seorang diantara   mereka yang membolehkan berthujjah dengan hadits ahad hanya dalam masalah ahkam (hukum), tidak juga dalam masalah berita-berita tentang asma’ dan sifat Allah.

Begitulah  pemahaman manusia tentang aqidah. Ada aqidah Islamiyah yang sahih, yang dianut  oleh golongan Ahlu Sunnah wal-Jama’ah, ada pula aqidah dhalalah (sesat) dengan  berbagai perbedaannya-aqidah ini dianut oleh ahlu firqah-, dan ada pula aqidah  kafiriah yang dianut oleh kaum kuffar dengan berbagai millahnya. (Wallahu a’lam).
Read more

Prinsip Dasar Aqidah Ahlussunnah Wal-Jamaah (5)


 Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu 'anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.

Prinsip Keenam
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu 'anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.
Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan: Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.(Al-Hasyr: 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
Artinya: Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).
Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid'ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.
Prinsip Ketujuh             

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya.
Artinya: Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku.( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.
Artinya: Wahai wanita-wanita nabi .........(Al-Ahzab : 32)
Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman
Artinya: Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. (Al-Ahzab : 33)
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman.
Artinya: Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia. (Al-Lahab : 1).
Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
Artinya: Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfa'at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.
Artinya: Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian. (Al-Jin: 21).
Artinya: Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui yang ghaib sunguh aku akan perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemadlaratan. (Al-A'raf : 188)
Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.
Prinsip Kedelapan             

Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu'tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta'atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma'shiyat.
Prinsip Kesembilan             

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya:
Artinya: Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk. (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama; yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman.
Artinya: Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya. (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul 'ilmi.
Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian yang lain betapapun adanya perbedaan masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.

Kemudian dengan adanya prinsip-prinsip yang dikemukakan dimuka, mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.
Penutup
Kemudian dengan adanya prinsip-prinsip yang dikemukakan dimuka, mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.
Diantara sifat-sifat yang agung itu adalah:
Pertama, Mereka beramar ma'ruf dan nahi mungkar seperti yang telah diwajibkan syari'at dalam firman Allah berikut.
Artinya: Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma'ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah. (Ali-Imran : 110).
Artinya: Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman. (Dikeluarkan oleh Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy dari Abu Sa'id Al-Khudry).
Sekali lagi, amar ma'ruf nahi munkar hanya terhadap apa-apa yang diwajibkan oleh syari'at. Sedangkan golongan Muta'zilah mengeluarkan amar ma'ruf dan nahi munkar dari apa-apa yang diwajibkan oleh syara, sehingga mereka berpandangan bahwa amar ma'ruf nahi munkar adalah keluar dari para pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan ma'shiyat walaupun belum termasuk perbuatan kufur. Sedang Ahlus Sunnah Wal Jama'ah memandang wajib menasehati mereka dalam hal kema'shiyatannya tanpa harus memberontak kepada mereka. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan.

Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:  Barangkali hampir tidak dikenal suatu kelompok keluar memberontak terhadap pemilik kekuasaan kecuali lebih banyaknya kerusakan yang terjadi ketimbang terhapusnya kemunkaran (melalui cara pemberontakan tersebut).
Kedua, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menjaga tetap tegaknya syi'ar Islam baik dengan menegakkan shalat Jum'at dan shalat berjama'ah sebagai pembeda terhadap kalangan ahlul bid'ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum'at maupun shalat Jama'ah.
Ketiga, Menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Artinya: Ad-Din itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya.(Dikeluarkan oleh Muslim I/Juz 2 hal. 36-37 syarah Nawawy, Abu Daud 5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102 dari Tamiim Ad-Dary).
Artinya: Mu'min yang satu bagi mu'min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan. (Dikeluarkan oleh Bukhary 4/6026 dan Muslim 6/Juz 16 hal. 139 syarah Nawawy).
Keempat, Mereka tegar dalam menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni'matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.
Kelima, Bahwasanya mereka selalu berahlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sesuai dengan firman Allah.
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (An-Nisaa : 36)
Artinya: Sesempurna-sempurna iman seorang mu'min adalah yang baik ahlaknya. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud 5/4682, dan Al-Haitsamy dalam Mawarid No. 1311, 1926).
Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya beserta sahabat-sahabatnya. Aamin.
            

Disalin dari buku Prinsip-Prinsip 'Aqidah Ahlus Sunah Wal Jama'ah oleh Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan



Read more