Biografi KH. Hamim Djazuli ( Gus Miek )

KH. Hamim Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940, beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli thariqat Pendiri Pon-Pes Al Falah Ploso Mojo Kediri),

Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah yang kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”Dzikrul Ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spiritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya dikalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat kelak.


Gus Miek seorang hafizh (penghafal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an Al-Quran dan Jama’ah Dzikrul Ghofilin.

Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.

Adanya sistem Da’wah yang dilakukan Gus miek sulit untuk bisa dicontoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang alim pun. Sekaliber KH. Abdul Hamid (Pasuruan) beliau mengaku tidak sanggup melakukan da’wah seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal KH. Abdul Hamid juga seorang Waliyalloh.

Gus Miek adalah, salah seorang dari sekian ulama besar Jawa yang berkharisma lantaran Allah telah menganugerahinya sebuah keistimewaan yang jarang dimiliki khalayak umum. Dengan demikian, dibalik keistimewaan dan karifan Gus Miek yang menyimpan banyak kisah mesteri dan penuh kontroversial ini, sangatlah penting untuk patut diteladani, khususnya bagi masyarakat pesantren. Karena apa yang dilakukan Gus Miek, tentunya memiliki arti penting bagi kita dalam memahami sikap dan perilakunya.

Diantara Sebagian Karamahnya

Ketika Gus Miek masih kecil baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harimau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan luapa bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku didepan sang bayi sambil menjilati kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi. Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah Misteri Ikan dan Burung Raksasa.

Gus Miek yang sangat senang bermain di tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan pusaran air. sampai beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki karena Gus Miek berdiri diatas punggung seekor ikan yang sangat besar, yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu hari, ketika ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam. Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir sungai dengan harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut. Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat, membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.

Karena ketakutan mendapat murka dari KH. Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok, membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya kembali ke pondok.

Pada suatu malam di ploso, Gus Miek mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa cundik. Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya beroleh ikan meski air sungai brantas telah meluap. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik dan berusaha menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif, ini kamu yang terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan kamu telah bertemu dengan guruku“. Afifudin hanya diam saja. Keduanya lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

Pernah di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke Discotic dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.”Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan ,Gus miek angkat bicara “Sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Allah SWT untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh Agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.

Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akhirat kelak.

Ketika beliau berda’wah di Semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan tanjung mas. Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan, Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan.

Satu contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba disebuah club malam Gus Miek masuk kedalam club yang dipenuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu gus miek langsung menuju watries (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus Miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.

Suatu ketika Gus Miek bermain judi dengan beberapa tukang becak. Pada saat itu tidak ada yang tahu bahwa itu adalah Gus Miek. Karena Gus Miek sedang “menyamar”….. Setelah permainan beberapa kali akhirnya Gus Miek pun membuka diri dan barulah beberapa tukang becak itu malu dan meminta Gus Miek untuk mendoakan mereka semua. Akhirnya Gus Miek menasehati dan mendoakan mereka……serta memberikan sedikit modal untuk berusaha secara halal. Doa Gus Miek di kabulkan oleh Allah. Sehingga tukang becak tersebut menghentikan kebiasaannya bermain judi. Dan mencoba hidup secara benar menurut agamanya masing.

Pernah pada suatu ketika Gus Farid (putra KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal dihatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada” jawab Gus miek.

Pertanyaan kedua Gus Farid menanyakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis “ jawab Gus miek

Wafatnya


Setiap orang yang bertemu dengan Gus Miek selalu berusaha mencium tangannya. Mengharap mendapat berkah dan kharomah. Di dalam kelompok pengajiannya yang biasa disebut sebagai “ Dzikrul Ghofilin” selalu di padati oleh pengikutnya.

Sampailah akhirnya Gus Miek di panggil oleh Allah SWT. Innalillahi Wa Innailaihi Roji’un. Tepat pada tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Budi Mulya Surabaya (sekarang Siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Sang Khaliq yang selama ini beliau rindukan.…….Ribuan orang melayat dari berbagai agama ataupun golongan. Dari masyarakat kecil sampai pejabat , semua berduyun-duyun untuk mengantarkan jenazah Gus Miek.

Pada saat proses menuju ke pemakaman……ternyata jenazah Gus Miek tidak diusung memakai keranda mayat melainkan langsung dibawa oleh orang-orang yang sedang melayat disana. Karena saking cintanya mereka semua kepada Gus miek….mereka rela berjejer dari depan rumah Gus Miek sampai ke Area pemakaman. Dan Tubuh Gus Miek “dibopong” dari satu orang ke orang berikutnya…begitu seterusnya sampai ke pemakaman.

Sungguh begitulah pemandangan yang mengharukan. Begitulah orang yang sangat di cintai..walaupun sudah meninggal…tapi jasa-jasanya tidak akan terlupakan oleh umatnya. Seorang Kyai sekaligus tokoh yang sangat di hormati dan di cintai oleh semua golongan itu telah meninggalkan kita semua. Tapi aku yakin banyak orang yang akan selalu mengingatnya dan menyayanginya. Semoga Allah menerima amal dan perbuatannya sebagai hamba yang di ridhoi-Nya. Amiin.

Wallahu A'lam.
Read more

Biografi KH Hasyim Asy'ari (Pendiri Nahdlatul Ulama)

KH. Hasyim Al Asy'ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

BIOGRAFI KH. HASYIM ASY'ARI

Karya dan jasa Kiyai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kelahiran dan Masa Kecil

Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
  • Halimah (Winih)
  • Muhammad
  • Leler
  • Fadli
  • Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy'ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy'ari hampir berusia 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
  • Nafi’ah
  • Ahmad Saleh
  • Muhammad Hasyim
  • Radiyah
  • Hasan
  • Anis
  • Fatonah
  • Maimunah
  • Maksun
  • Nahrowi, dan
  • Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahira KH.M. Hasyim Asy'ari, nampak adanya sebuah isyaroh yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur asing), mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan belaiu yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..

RIHLAH ILMIYAH

a. Belajar Pada Keluarga

Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy'ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidak puasannya terdahap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukuan pengembaraanya menuntut ilmu.

b. Mengembara ke Berbagai Pesantren

Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondik pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhona Khalil).

Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy'ari "ngangsu kawruh" dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertannya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama' yang dibawa KH. As'ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi'iyah Situbondo).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

c. Kematangan Ilmu di Tanah Suci

Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenagan indah dan sedih teringat kembali tat kala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

PERAN-PERAN BESAR KH. M. HASYIM ASY'ARI

a. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada se-eokor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.

Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.

KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

b. Mendirikan Nahdlatul Ulama’

Disamping aktif mengajar belaiu juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: "Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi'i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu'am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam". KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.

Nahdlatul ulama' sebagai suatu ikatan ulama' seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama' yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi'ar Islam di Indonesia, untuk mengadudombanya antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama'ulama lain.

Jam’iyah ini berpegang pada faham Ahlu Sunnah Wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.

c. Pejuang Kemerdekaan

Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.

Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
- Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
- Harta benda yang berlimpah-limpah
- Gadis-gadis tercantik

Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: "Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya". Akhir KH.M. Hasyim Asy'ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuatan Nabi SAW.

Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau mefatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.

Begitu pula masa penjajah Jepang , pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan disurabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namuni tetap mengajar dipesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

Keluarga Dan Sisilah

Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
  • Hannah
  • Khoiriyah
  • Aisyah
  • Azzah
  • Abdul Wahid
  • Abdul Hakim (Abdul Kholiq)
  • Abdul Karim
  • Ubaidillah
  • Mashurroh
  • Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
  • Abdul Qodir
  • Fatimah
  • Chotijah
  • Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )

Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI

WAFATNYA SANG TOKOH

Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kia menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.

Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada disamping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada ditempat, Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).

Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.

Kepergian beliau ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan belasungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau ditenggah Pesantren Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab Hasbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup beliau, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat".

KARYA KITAB KLASIK

Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikiranya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.

Tetapi sangat diakungkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
  1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
  2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna'u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid Nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
  3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
  4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang Wali dan Thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
  5. Al-Tibyan Fi Nahyi'an Muqatha'ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
  6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
  7. Dlau' al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
  8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin Yasir Pasuruaan
Referensi: biografi.rumus.web.id
Read more

Biografi Syekh Sarri As-Saqathy

Nama Lengkap beliau adalah Abi al-Hasan Sarri ibn al-Mughalis as-Saqathy, Beliau adalah paman sekaligus guru Imam Junaid. Disamping itu beliau Ra. juga murid Ma’ruf Al-Karkhy. Kesalehan dan kegigihan Sirri As Saqathi dalam beribadah tidak diragukan lagi.

Di jaman beliau, ia di kenal ulama besar dengan kemampuan ilmu pengetahuan yang sulit dicari bandingannya. Ia menguasai ilmu hadits, ilmu fiqh, ilmu sejarah, ilmu tasawuf, ilmu kalam dan filsafat. Beliau bukan sekedar ahli ilmu tetapi ahli amal yang menghabiskan waktunya semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.

Setidak-tidaknya diakui keponakan sekaligus murid Syekh Junaid al-Baghdady yang dikemudian hari menjadi penggantinya. Syekh Junaid Al-Baghdady pernah berkata “Aku tidak melihat seorang yang lebih hebat ibadahnya dari Sarri.” Selama 98 tahun beliau tidak pernah berbaring kecuali pada saat sakit menjelang wafatnya. Artinya beliau radhiyallahu anhu senantiasa beribadah kepaad Allah Ta’ala siang malam. Jika harus tidur, itupun beliau lakukan dalam keadaan duduk, sehingga wudhunya tidak batal. Wajar saja kalau tetangga dan murid-muridnya memanggil dia dengan julukan al-Mughilis, mengingat beliau tidak pernah keluar rumah kecuali hanya untuk melakukan kegiatan amaliah ibadah.

Sirri al-Saqathi adalah salah seorang Sufi, beliau pernah berkata, ”Sudah tiga puluh tahun aku beristighfar kepada Allah hanya karena ucapan al-hamdulillah yang keluar dari mulutku” Tentu saja banyak orang menjadi bingung dengan pernyataannya itu lalu bertanya kepadanya, ”Bagaimana itu bisa terjadi?”

Sirri berkata, ”Saat itu aku memiliki toko di Baghdad. Suatu saat aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus dilalap api, padahal tokoku berada di pasar tersebut. Aku bersegera pergi ke sana untuk memastikan apakah tokoku juga terbakar ataukah tidak? Seseorang lalu memberitahuku, ”Api tidak sampai menjalar ketokomu” Aku pun mengucapkan, ”Alhamdulillah!” Setelah itu terpikir olehku, ”Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini? Walaupun tokomu tidak terbakar, bukankah toko-toko orang lain banyak yang terbakar. Ucapanmu : alhamdulilah menunjukkan bahwa engkau bersyukur bahwa api tidak membakar tokomu. Dengan demikian, engkau telah rela toko-toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak terbakar! Lalu aku pun berkata kepada diriku sendiri lagi, ”Tidak adakah barang sedikit perasaan sedih atas musibah yang menimpa banyak orang di hatimu, wahai Sirri?” Disini Sirri mengambil dari hadis Nabi, ”Barang siapa melewatkan waktu paginya tanpa memerhatikan urusan kaum muslimin, niscaya bukanlah ia termasuk dari mereka (kaum muslimin)”. Sudah 30 tahun saya beristighfar atas ucapan alhamdulillah itu.

Akhirnya beliau keluarkan harta bendanya yang ada dan dibagikan kepada masyarakat yang terkena musibah, terutam yatim dan fakir miskin. Adakah di negeri kita yang kepeduliannya terhadap sesama menyamai Syekh Sirri Saqothi ra, jika tidak ada ada baiknya kita menjadikan sikap beliau sebagai suri tauladan.

Kisah tentang Sarri al-Saqathy ini merupakan sebuah contoh bentuk cinta diri negatif yang bisa kita katakan sebagai sifat mementingkan diri sendiri. Cinta diri seperti ini menutup pintu bagi segala bentuk perhatian yang sungguh-sungguh pada orang lain. Orang yang mementingkan diri sendiri hanya tertarik pada diri sendiri, dia menghendaki segala-galanya bagi dirinya sendiri, tidak merasakan kegembiraan dalam hal memberi dan hanya senang jika menerima. Dunia luar hanya dipandang dari segi apa yang dapat dia peroleh. Dia tidak berminat untuk memerhatikan kebutuhan-kebutuhan orang lain dan tidak menghargai kodrat serta integritas mereka. Orang macam ini tidak bisa melihat apa-apa selain dirinya sendiri. Dia menilai setiap orang atau lainnya hanya semata dari sisi manfaat buat dirinya. Pada dasarnya orang macam ini tidak punya kemampuan untuk mencintai.

Sebagaimana guru dan keponakannya, Sarri As-Saqathi Ra. memiliki perhatian yang sangat besar terhadap peringatan Maulid Nabi. Dalam sebuah kesempatan beliau menuturkan :
“Barang siapa mendatangi tempat dimana disiti dibacakan Maulid Nabi, maka dia telah mendatangi sebuah taman Surga, sebab tujuannya mendatangi majlis itu adalah tidak lain untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah SAW.
Sedangkan Rasulullah Bersabda :
“Barang siapa mencintaiku, maka dia bersamaku di Surga” (Abu Bakar Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I anathuth Thalibin Darul Fikr, juz3, hal 255)

Cinta diri dalam bentuk ini bukanlah sesuatu yang sesungguhnya maujud. Cinta semacam ini sesungguhnya hanyalah suatu bentuk kegandrungan seseorang pada dirinya sendiri. Karena itu cinta diri seperti ini harus disingkirkan. Sebaliknya cinta diri yang merupakan fithrah yang ada pada diri manusia seperti keinginan untuk memuliakan diri, mensucikan diri dan hal-hal semacam itu tentu saja tidak boleh diabaikan atau pun dibuang. Perbaikan dan penyempurnaan diri (nafs) manusia justru merupakan kemestian dan keharusan bagi manusia untuk mewujudkannya.

Abul Hasan Sarri Saqothi al-Mugilis adalah sosok guru yang bijak bagi ratusan murid-muridnya, merupakan orang yang sangat peduli akan kesejahteraan sesama, beliau tidak pernah makan, kecuali bersama-sama dengan fakir dan miskin, beliau tidak pernah meminta tetapi tidak pernah menolak jika di beri oleh siapapun, beliau senantiasa mudah bergaul dengan kalangan apa pun, dekat dengat rakyat di segani pejabat, yang istimewa beliau tidak pernah memanfaatkan kedekatannya dengan pejabat untuk kepentingan duniawi tetapi senantiasa memberi nasihat. Sebut saja Ahmad Yazid seorang raja ketika itu, berubah akhlak menjadi raja yang mencintai kesalehan sosial setelah mendengarkan khutbahnya Syekh Sarri Saqoti ra.

Diantara khutbahnya yang menyadarkan banyak orang adalah. Seorang manusia harus dapat hidup ditengah keramaian dan mengkhusukan diri kepada Allah SWT, sehingga tidak pernah lupa kepadanya walau sesaat pun. Diantara kedelapan belas ribu dunia itu, tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan diantara makhluk ciptaan Allah SWT. tidak ada yang paling mengingkari dari pada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik, sehingga malaikat-malaikat iri kepadanya. Jika ia jahat maka terlampau jahat sehingga syaitan-syaitan pun malu bersahabat dengannya, alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu, masih mengingkari Allah yang sangat perkasa.

Pesan Syekh Sarri as-Saqathi kepada Syekh Junaid al-Baghdady

Wahai Syekh Junaidi al-Baghdady Ra sesungguhnya aku mengetahui jalan pintas agar masuk ke dalam surga, al-Junaidi bertanya bagaimana caranya tuan. Syekh Sirri kemudian menjelaskan, cara pintas agar kita mudah masuk kedalam surga, Pertama, jangan meminta sesuatu apapun dari seseorang. Kedua, jangan mengharapkan sesuatu apapun dari seseorang. Dan Ketiga, jangan menahan sesuatu apapun yang akan diberikan kepada orang lain.

Kisah Syech Sirri Saqathy Menunaikan Ibadah Haji

Syeikh As-Sarri As-Saqqathy  bercerita:

Dalam peristiwa ini aku sedang berada di Baitul-Maqdis,  ketika itu aku duduk di Sakhrah berdekatan dengan Masjid Al-Aqsha.  Aku dalam keadaan sedih dan pilu sekali,  kerana hari-hari untuk perlaksanaan haji ke Batullah hanya tinggal sepuluh hari saja lagi,  jadi aku merasa kesal sekali karena tidak dapat menunaikan ibadat Haji pada tahun itu
Aku berkata dalam hatiku: “Alangkah buruknya nasib!  Semua orang telah berangkat menuju ke Makkah untuk menunaikan haji,  dan kini yang tinggal hanya beberapa hari saja,  padahal aku masih berada di sini!”

Akupun menangis karena ketinggalan amalan Haji tahun ini.  Tidak beberapa lama sesudah itu,  aku terdengar suatu suara ghaib menyambut tangisanku tadi.  Katanya: “Wahai Sarri Saqathy!  Janganlah engkau menangis,  nanti Tuhan akan mengirimkan utusan-Nya untuk menghantarmu ke Baitullahil-Haram,  Makkah di saat ini juga.!”

Aku bertanya dalam hatiku:  Bagaimana ini boleh terjadi,  sedang saat ini aku masih di sini,  padahal perlaksanaan haji tinggal beberapa hari lagi?  Apakah aku akan diterbangkan?  atau bagaimana?

Suara itu kedengaran lagi: “Jangan engkau ragu! Allah Maha Kuasa mampu mempermudah segala yang sukar bagaimanapun caranya.”

Mendengar jawaban itu,  aku langsung bersujud kepada Allah untuk bersyukur dengan air mata kegembiraan.  Kemudian aku duduk dengan hati yang berdebar-debaran dan hatiku terus bertanya: “Benarkah apa yang dikatakan oleh suara itu?”

Tiba-tiba dari jauh tampak dengan jelas empat orang pemuda berjalan cepat-cepat menuju ke masjid,  dan kelihatan wajah keempat-empat pemuda itu sangat bersinar.  Seorang diantaranya lebih tampan dan berwibawa,  mungkin dia itulah pemimpin rombongan ini.  Mereka sholat masing-masing dua rakaat.  Saya turun dari Sakhrah,  lalu mendekati mereka,  dalam hatiku berkata: “Moga-moga mereka inilah orang-orang yang dijanjikan oleh Tuhan dalam suara ghaib tadi!”

Aku mendekati pula pemuda yang aku menganggapnya sebagai pemimpin rombongan ini agar aku dapat mendengar do'a dan munajatnya.  Aku dapatinya sedang menangis,  kemudian dia berdiri,  menyentuh hati sanubariku.  Selesai bershalat dia lalu duduk dan datang pula ketiga-tiga pemuda yang lain pula yang duduk di sisinya.

Berkata Sarri Saqathy: Akupun mendekati mereka serta memberi salam kepada mereka.
“Waalaikumussalam,”  Jawab pemuda pemimpin itu,

“Wahai Sarri Saqathy,  wahai orang yang mendengar suara ghaib pada hari ini.  Bergembiralah,  bahwa engkau tidak akan ketinggalan haji pada tahun ini.”

Aku hampir-hampir jatuh pingsan,  apabila mendengar berita itu.  Aku terlalu gembira,  dan tidak dapat kusifatkan betapa hatiku merasa senang sekali,  sesudah tadinya aku bersedih dan menangis. “Ya,  memang saya dengar suara ghaib itu tadi,”  Jelas Sarri Saqathy.

“Kami,”  Kata pemuda itu,  “Sebelum suara ghaib itu membisikkan suaranya kepadamu itu,  kami sedang berada di negeri Khurasan dalam penujuan kami ke Negeri Baghdad.  Kami cepat-cepat menyelesaikan keperluan kami disana,  dan terus berangkat ke arah Baitullahi-Haram.  Tiba-tiba terfikir oleh kami ingin menziarahi makam-makam para Nabi di Syam,  kemudian barulah kami akan pergi ke Makkah yang dimuliakan oleh Allah tanahnya.  Kini kami telah pun memenuhi hak-hak para Nabi itu dengan menziarahi makam-makam mereka,  dan kami datang ke mari pula untuk menziarahi Baitul-Maqdis,”  Pemuda itu menjelaskan lagi.

“Tetapi,  apa yang tuan-tuan lakukan ketika di Khurasan awal-awal itu,?”  Tanya Sarri Saqathy.

“Kami mengadakan pertemuan dengan rekan kami,  yaitu Ibrahim Bin Adham dan Ma’ ruf Al-Karkhi.  Dan saat ini mereka sedang menuju ke Makkah,  melalui jalan padang pasir,  dan kami pula singgah di Baitul Maqdis.”

Sungguh aku sangat heran,  apakah benar apa yang mereka katakan itu?  dimana Khurasan dan dimana pula Syam?  Jarak diantara kedua-duanya sangatlah jauh sekali dan jika ditempuh berjalan kaki memakan masa setahun lamanya.  Bagaimana mereka dapat menempuhnya dengan sekedip mata saja?

“Moga-moga Allah merahmatimu,”  ujarku.  “Perjalanan dari Khurasan dan Baitul Maqdis biasanya ditempuh selama setahun?  Bagaimana kamu dapat menempuhnya dalam masa yang singkat sekali?!”  tambahku lagi.

“Wahai Sarri,  janganlah kau heran!”  Kata pemuda pemimpin itu.  “Kalau perjalanannya itu sampai seribu tahun sekalipun,  bukankah kita ini semua hamba-hamba Allah,  dan bumi pun kepunyaan Allah?  Kita pun pergi untuk menziarahi rumah-Nya,  jadi Dialah yang menyampaikan kita kesana datas kehendak-Nya.  Tidakkah engkau lihat betapa matahari beredar dari timur ke barat pada waktu siang harinya.  Coba engkau fikirkan bagaimana matahari itu beredar?  Apakah ia beredar dengan kuasanya sendiri,  ataukah dengan kuasa Tuhan?  Kalaulah matahari itu yang hanya jamad (benda yang tidak bernyawa),  dan ia tidak ada hisab,  (perhitungan) dan tidak ada iqab (siksa) ia boleh beredar dari timur ke barat dalam satu hari,  jadi tidaklah mustahil bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah boleh memotong perjalanan dari Khurasan ke Baitul Maqdis dalam satu saat saja.  Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai kuasa mutlak dan kehendak untuk membuat sesuatu yang luar biasa kepada siapa yang dicintai-Nya atau yang dipilih-Nya,  tiada suatu kuasa yang dapat menghalangi kuasa dari kehendakNya.”

Dia berhenti semula kemudian menyambung lagi : “Engkau wahai Sarri Saqathy!”  Seru pemuda itu tadi,  “Hendaklah engkau memuliakan dunia dan akhirat sekaligus?” Dia menjawab: “Siapa yang mau akan kekayaan tanpa harta,  dan ilmu pengetahuan tanpa belajar serta kemuliaan tanpa kaum keluarga,  maka hendaklah ia membersihkan jiwanya dari mencintai dunia sama sekali, jangan sekali-kali ia bergantung kepada dunia,  dan jangan sampai hatinya mengingatinya sama sekali!”
“Tuan!  demi Allah yang telah menggutamakanmu dengan Nur cahaya-Nya,  dan Yang telah membukakan bagimu dari hal rahsia-rahsia-Nya,  sekarang engkau akan berangkat ke mana?”  tanya Sarri Saqathy.

“Kami akan berangkat untuk menunaikan haji,  kemudian menziarahi maqam Nabi Saw.”
“Demi Allah,  aku tidak akan berpisah denganmu lagi,  karena berpisah denganmu berarti berpisahnya roh dengan jasad,”  Aku merayu kepadanya.“Kalau begitu,  marilah kita berangkat bersama dengan menyebut Bismillah.”

Dia mula bersia-siap dan berangkat jalan.  Aku pun menurut di belakangnya.  Sebentar saja kami berjalan,  tiba-tiba sudah masuk waktu solat dzuhur.

“Wahai Sarri,  sekarang sudah masuk waktu dzuhur,  apakah engkau tidak shalat dzuhur?!”  tanyanya.
“Ya,  aku akan shalat dzuhur”, kataku.
Aku pun segera mencari debu bersih untuk bertayammum.  Tiba-tiba kata pemuda itu :
“Tak perlu tayammum.  Disini ada mata air tawar,  mari ikut aku ke sana!”
Aku sebagai orang yang bodoh ikut ke jalan yang diarahkan.  Disitu memang benar ada sebuah mata air tawar,  rasanya lebih enak dan lebih manis dari rasa madu.
Aku pun berwudhu' dengan air itu serta meminumnya dengan sepuas-puasnya.  Kemudian aku berkata kepadanya:
“Tuan!  demi Allah,  aku telah melalui jalan ini berkali-kali,  tetapi tak pernah aku menemui mata air apapun ditempat ini?”
“Kalau begitu kita harus bersyukur kepada Allah atas kemurahan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya.”

Kami pun bershalat bersama-sama,  kemudian berjalan lagi hingga dekat ke waktu Ashar.  Aku tidak percayakan diriku ketika aku lihat menara-menara tinggi Negeri Hijaz itu.  Tidak beberapa lama sesudah itu,  aku terlihat tembok-tembok Kota Makkah.  “Oh,  ini Makkah!  bisik hatiku.  Betulkah aku dalam keadaan sadar, ataupun mungkun ini hanya sebuah impian malam saja!!!
Tiba-tiba tercetus dari mulutku,  “Eh  kita sudah sampai ke Makkah?!”  Aku terus menangis dan air mataku menetes diseluruh pipiku.

“Wahai Sarri,”  Kata pemuda itu.  “Engkau sudah sampai di Makkah.  Sekarang engkau hendak berpisah denganku ataupun kau hendak masuk bersama-sama denganku?!”  Tanya pemuda itu.
“Ya,  saya akan masuk bersamamu,”  Jawabku.
Kami pun masuk Makkah itu menerusi pintu Nadwah.  Di situ aku temui dua orang laki-laki sedang menunggu kami.  Seorang agak sudah tua parasnya dan yang lain pula masih muda dan tegak lagi.

Apabila kedua orang laki-laki itu melihat pemuda tadi,  mereka tersenyum dan serta merta mereka datang dan mendekapnya.  Kemudian sebut mereka:  Alhamdulillah alas-salaamah! (segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kamu.)
“Tuan,  siapa mereka ini”  tanyaku. “Ah,”  bunyi suaranya.  “Yang tua ini adalah Ibrahin Bin Adham dan pemuda ini ialah Ma’ruf Al-Karkhi.” Aku pun bersalaman dengan mereka.

Kami sekalian duduk didalam Masjid hingga tiba waktu shalat Ashar.  Kemudian kita bershalat Maghrib dan Isya' di Masjidil Haram.

Sesudah itu,  maka masing-masing mereka mengambil tempat-tempat sendiri didalam masjid itu bershalat bermacam-macam shalat.  Aku juga turut bershalat sekedar kemampuanku sehinggalah tertidur dengan nyenyaknya.  Apabila aku tersadar dari tidurku itu aku dapati mereka sudah tidak ada lagi disitu.  Aku coba mencarinya disekitar Masjidil Haram itu,  tiada jejak pun melainkan sudah aku amatinya,  namun bayangnya pun tidak kudapati.  Kemana mereka telah pergi?  aku memanggil-manggil disitu seperti orang gila yang tidak tentu arahnya.
Kemudian aku pergi mencari mereka ditempat lain,  disekitar Masjidil-Haram,  dan sekitar kota Makkah,  di Mina,  dan ditempat-tempat lain lagi,  namun aku tidak menemui walau seorang pun dari mereka.
Aku merasa sedih sekali,  dan kadang-kadang aku menangis seorang diri,  karena telah terpisah dari mereka itu sekalian. Semoga Allah merahmati mereka sekalian!.

Itulah salah satu dari kisah sufi Sarri As-Saqathy dalam menggapai kemuliaan dan keangungan Allah Swt. Dan beliau wafat pada tahun 253 H / 867 M

Wallahu A'lam
Read more

Biografi Syekh Abu Bakar Asy-Syibly

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Dulaf ibnu Jasdar Asy-Syibly, beliau dilahirkan di Surraman pada tahun 247 H. Beliau dilahirkan dari keluarga pejabat yang dihormati oleh masyarakat. Beliau mendapat julukan "Asy-Syibly" karena beliau dilahirkan di Syiblah yaitu daerah Khurasan.

Asy-Syibly menempuh pendidikannya dengan baik sejak kecil hingga dewasa, sehingga beliau dapat menguasai ilmu Agama dan menguasai ilmu fiqih dan mempelajari ilmu Hadits kepada para ahlinya. Selama dua puluh tahun beliau menempuh pendidikan tersebut kepada para ulama' terkenal dan tokoh sufi.

Setelah  Asy-Syibly mengakhiri kehidupannya sebagai pejabat pemerintahan, beliau memulai membuka lembaran hidup baru dengan menndalami ajaran sufi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Al-Junaid. Asy-Syibly mendalami ilmu Fiqih dan Tasawuf, beliau belajar berguru kepada Al-Junaid, lebih dulu Asy-Syibly pernah bergabung dengan kelompok diskusi Khair An-Nassaj dan dari kelompok inilah kemudian beliau mendapat saran untuk belajar kepada Syekh Junaid Al-Baghdady, bimbingan yang diberikan oleh Al-Junaid kepada Asy-Syibly diantaranya adalah :
  • Memantapkan kesabaran dan kejujuran dengan usaha berdagang.
  • Memantapkan hakikat diri dihadapan manusia dan menumbuhkan ketergantungan kepada Allah Swt,
Kedua bimbingan dan intruksi yang diberikan oleh Al-Junaid dapat dilaksanakan dengan baik oleh Asy-Syibly dan akhirnya Asy-Syibly menjadi Murid Syech Al-Junaidy. Setelah Asy-Syibly menerima bimbingan dari Al-Junaidy, Asy-Syibly hidup dengan penuh disiplin dan sebagai seorang sufi beliau hidup sampai menggapai Zuhud, Wara', Taqwa dan disertai dengan pandangan sufi yang teguh dalam menghadapi dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi.

Pokok pikiran Asy-Syibly, diantaranya ialah sebagai berikut :
  1. Seorang sufi adalah semata-mata memfokuskan diri semata-mata kepada Allah Swt, dengan akhlak ketuhanan, dengan hati yang bersih, dengan gerakan-gerakan hati yang setia dan dengan usaha kedermawanan. Dengan kata lain, seorang sufi harus hidup sederhana dengan keadaan yang sempurna untuk menuju ke maha sempurna.
  2. Asy-Syibly mengatakan, “Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt. tanpa hasrat.” Dikatakan, “Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari Allah swt, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Allah Swt.” Asy-Syibly mengatakan, “Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah swt. kepada Musa,’Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku’ (Q.s. Thaha: 41), dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya, "Engkau tidak akan bisa melihat-Ku". Asy-Syibly juga mengatakan, “Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Al-Haq.” Katanya, “Tasawuf adalah kilat yang menyala,” dan, “Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
  3. Asy-Syibly ditanya, “Mengapa para Sufi itu disebut Sufi?” Dia menjawab, “Hal itu karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
Dimana beliau termasuk pembesar para sufi dan para ‘Arif billah. Beliau berkata di dalam munajatnya :
Wahai Tuhanku…
Sesungguhnya aku senang
Untuk mempersembahkan kepadaMu semua kebaikanku
Sementara aku sangat faqir dan lemah
Oleh karena itu wahai Tuhanku,
Bagaimana Engkau tidak senang
Untuk memberi ampunan kepadaku atas segala kesalahanku
Sementara Engkau Maha Kaya
Karena sesungguhnya keburukanku tidak akan membahayakanMu
Dan kebaikanku tidaklah memberi manfaat bagiMu

Dan sesungguhnya sebagian orang yang mulia telah memberikan ijazah agar dibaca 7 kali setelah melaksanakan shalat Jum’at dari bait syair sebagai berikut :
Ilahy lastu lil firdausi ahla  #  Walaa aqway ‘ala naaril jahiimi
Fahably zallaty wahfir dzunuuby  #  Fa innaka ghaafirul dzanbil ‘adziimi
Wa ‘aamilny mu’aamalatal kariimi  #  Watsabbitny ‘alan nahjil qawwimi

(Hikayat) Sesungguhnya Syaikh Abu Bakr As-Syibly datang kepada Ibnu Mujaahid. Maka segeralah Ibnu Mujaahid mendekati As-Syibly dan mencium tempat diantara kedua mata beliau. Maka ditanyakanlah kepada Ibnu Mujaahid akan perbuatannya yang demikian, dan beliau berkata, “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW didalam tidur dan sungguh beliau SAW telah mencium As-Syibly. Ketika itu berdirilah Nabi SAW di depan as-Syibly dan  beliau mencium antara kedua mata As-Syibly".  Maka aku bertanya, "Yaa RasuluLlah, apakah benar engkau berbuat yang demikian terhadap As-Syibly ?". RasuluLlah SAW menjawab, "Benar", sesungguhnya dia tidak sekali-kali mengerjakan shalat fardhu melainkan setelah itu membaca : "Laqad jaa akum Rasuulum min anfusikum ‘aziizun ‘alaiHi maa ‘anittum chariisun ‘alaikum bil mukminiinarra’uufurrahiim faintawallau faqul chasbiyaLlaahu laaIlaaha Illa Huwa ‘alaiHi tawakkaltu waHuwa Rabbul ‘Arsyil ‘adziim…". setelah itu dia (As-Syibly) mengucapkan salam ShallaLlaahu ‘alaika Yaa Muhammad”.  Kemudian aku tanyakan kepada As-Syibli mengenai apa yang dibacanya setelah shalat fardhu, maka beliau menjawab seperti bacaan tadi.

Telah berkata Asy-syibly, “Apabila engkau menginginkan ketenangan bersama Allah, maka bercerailah dengan nafsumu.” Artinya tidak menuruti apa yang menjadi keinginannya. Telah ditanyakan keadaan Asy-Syibly di dalam mimpi setelah beliau wafat, maka beliau menjawab, "Allah Ta’ala berfirman kepadaku,"Apakah engkau mengetahui dengan sebab apa Aku mengampunimu ?"
Maka aku menjawab, "Dengan amal baikku”.
Allah Ta’ala berfirman,"Tidak".
Aku menjawab, "Dengan ikhlas dalam ubudiyahku".
Allah Ta’ala berfirman, "Tidak".
Aku menjawab,"Dengan hajiku dan puasaku ?"
Allah Ta’ala berfirman, "Tidak".
Aku menjawab, "Dengan hijrahku mengunjungi orang-orang shaleh untuk mencari ilmu“.
Allah Ta’ala berfirman,"Tidak".
Akupun bertanya, "Wahai Tuhanku, kalau begitu dengan apa ?“
Allah Ta’ala menjawab, "Apakah engkau ingat ketika engkau berjalan di Baghdad kemudian engkau mendapati seekor anak kucing yang masih kecil dan lemah karena kedinginan, dan ia emnggigil karenanya. Kemudian engkau mengambilnya karena rasa kasihan kepada anak kucing itu dan engkau hangatkan ia ?”
Aku menjawab, "Ya".
Maka berfirmanlah Allah Ta’ala, "Dengan kasih sayangmu kepada anak kucing yang masih kecil itulah Aku menyayangimu".

Asy-Syibli hidup hingga usia 87 tahun dan wafat pada tahun 334 H dimakamkan di Baghdad.
Read more

Biografi Syekh Ma’ruf Al-Karkhy

Nama lengkapnya adalah Ma'ruf bin Faizan Abu Mahfudz al-Ibid bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad,  Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan  Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah, namun para ahli sejarah tidak ada yang mengetahui tanggal dan tahun berapa beliau dilahirkan. Beliau adalah seorang sufi yang dikenal dengan Al-Karkhi, sebuah nama yang dinisbatkan kepada nama tempat kelahirannya Al-Karkhi.

Beliau dibesarkan di Baghdad dan dikota itu pula beliau menimba berbagai macam ilmu kepada para ulama fiqih dan memperdalam ilmu tasawuf kepada para sufi terkenal. Dari pergaulan dengan para sufi itulah membawa beliau menjadi seorang zahid. Sealain belajar di Baghdad, beliau juga mengembara kenegeri-negeri lain untuk menambah wawasan keilmuannya. Pengembaraan itu membawa dirinya banyak dikenal di negerri orang dan ia pun banyak dikunjungi banyak orangsehingga ia bukan hanya dikenal oleh penduduk bumi, namun juga dikenal oleh penghuni langit.
 
 
Sebagai seorang sufi yang terkenal beliau mempunyai beberapa keistimewaan dan kelebihan, antrara lain sebagai berikut :
  • Beliau banyak dikunjungi oleh orang-orang sebelumnya tidak dikenal. Mereka berkunjung kepada Al-Karkhi karena mereka pernah bermimpi mengunjungi beliau.
  • Salah seorang murid beliau yang bermana Sarri As-Saqathi pernah menuturkan, "Dalam tidurku, aku pernah bermimpi melihat Ma'ruf al-Karkhi seolah berada di Arasy. Pada waktu itu, Allah SWT berfirman: "Siapakah dia?" Para Malaikat menjawab, "Engkau lebih mengetahui ya Tuhan". Maka Allah SWT. berfirman: "Orang itu adalah Ma'ruf Al-Karkhi yang sedang mabuk Cinta kepadaKu".
Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya.  Kebesarannya diakui berbagai golongan

Nama sufi ini tidak terlalu  populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuler Syekh  Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah  Ma'ruf Al-Karkhi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia  Tasawuf yang jiwanya selalu
diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada  sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi  sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sirry Al-Saqaty, yang terpengaruh  gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus  Rabi'ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.

Menurut  Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya,  orang tua Ma'ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru  sekolahnya berkata, "Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga", tapi Ma'ruf membantah, "Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa."

Mendengar  jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma'ruf tetap dengan  pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma'ruf  melarikan diri. Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia  pergi, orang tua Ma'ruf berkata, "Asalkan ia mau pulang, agama apapun  yang dianutnya akan kami anut pula. "Ternyata Ma'ruf menghadap Ali bin  Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.

Tak  beberapa lama, Ma'ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. "Siapakah itu" tanya orang tuanya. "Ma'ruf", jawabnya. "Agama apa yang engkau anut?" tanya orang tuanya. "Agama Muhammad, Rasulullah", jawab Ma'ruf.  Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun langsung memeluk Islam.

Cinta  Ilahiyah

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud Al-Tsani,  ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu  menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang  sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu  tasawuf dan
mengembangkan paham cinta Ilahiah.

Menurut Ma'ruf,  rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar,  melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran  tasawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma'ruf  merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT.  Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma'ruf Al-Karhy yang  pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah  yang mendefinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap  zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.

Masih menurut Ma'ruf,  seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu  yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak  mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan,  sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang  salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti  Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan  yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah  SWT.

Gambaran tentang Ma'ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya  sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, "Kulihat ada goresan  bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak  terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?"Ma'ruf pun menjawab,  "Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal  yang berfaedah bagimu."

Tapi Manshur terus mendesak. "Demi Allah, jelaskan kepadaku", maka Ma'ruf pun menjawab. "Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka'bah. Doaku itu  terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan  mukaku terbentur sehingga wajahku luka."

Pada suatu hari Ma'ruf  berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda  yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda  itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma'ruf mendesak agar gurunya  berdo'a kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal.  Maka Ma'ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia  berdoa, "Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka  kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat  nanti." Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. "Tunggulah sebentar,  kalian akan mengetahui rahasianya", ujar Ma'ruf.

Beberapa saat  kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma'ruf, mereka  segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan  gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma'ruf dan bertobat. Lalu kata  Syekh Ma'ruf kepada muridnya, "Kalian saksikan, betapa doa kalian  dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun juga."

Ma'ruf  mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur  melihat Ma'ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing.  Menyaksikan itu pamannya berseru, "Tidakkah engkau malu makan roti  bersama seekor Anjing?" maka sahut sang kemenakan, "Justru karena punya  rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin." Kemudian  ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat  kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma'ruf. Lalu  katanya kepada sang paman, "Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala  sesuatu akan malu pada dirinya". Mendengar itu, pamannya terdiam, tak  dapat berkata apa-apa.

Suatu hari beberapa orang syiah mendobrak  pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma'ruf hingga  tulang rusuknya patah. Ma'ruf tergelatak dengan luka cukup parah,  melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, "Sampaikan wasiatmu yang  terakhir", maka Ma'ruf pun berwasiat. "Apabila aku mati, lepaskanlah  pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin meninggalkan dunia ini dalam  keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku."

Sarri  as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat  Ma'ruf tengah memunguti biji-biji kurma. "Apa yang sedang engkau  lakukan?" tanyaku.
Ia menjawab, "Aku melihat seorang anak  menangis. Aku bertanya, "Mengapa engkau menangis?" ia menjawab. "Aku  adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu, Anak-anak yang lain mendapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka  juga dapat kacang, sedangkan aku tidak," lalu akupun memunguti  biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan  kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama  anak-anak lain. "Biarkan aku yang mengurusnya," kataku.
Akupun  membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat  gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan  sejak saat itu, akupun berubah.

Suatu hari Ma'ruf batal wudlu. Ia  pun segera bertayamum. Orang-orang yang melihatnya bertanya,  "Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?" Ma'ruf menjawab,  "Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu."

Ketika  Ma'ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang berta'ziyah,  Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para  sahabatnya membaca wasiat almarhum: "Jika ada kaum yang dapat mengangkat  peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka". Kemudian orang  Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika  tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka  menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

Wallahu A'lam Bisshawab.
Read more

Sayyidina al-Khaidir di Mata Kaum Sufi

Mursyid Terbaik Yang Sangat Misterius

Kalau ada manusia paling misterius di muka bumi ini, maka al-Khidirlah orangnya. Beliau tokoh yang amat terkenal, tapi jejaknya lepas dari pengamatan sejarah. Hanya cerita pribadi dari mulut ke mulut, tak meninggalkan bukti sejarah apapun. Bahkan, meski memiliki kisah yang unik dengan Nabi Musa, kitab Taurat maupun Injil tidak menceritakannya. Kisah itu hanya diceritakan dalam al-Qur’an, meski tak secara langsung disebutkan namanya.

Sisi misterius memang memainkan peran tersendiri dalam membentuk ketokohan al-Khidir. Atas dasar itu, kalangan sufi menyebutnya sebagai tokoh rijâlul ghaib. Syekh Abdul Qadir al-Jilani menyatakan, “Di antara para wali ada orang yang sudah fanâ’ (menghilang) dari kebutuhan makan dan minum, menghindar dari umat manusia dan tak terlihat oleh pandangan mata mereka, ia diberi umur panjang, tidak mati-mati, seperti al-Khidir alaihis salam….”

Dalam banyak hal, kisah beliau bersama Nabi Musa menjadi sumber inspirasi kehidupan batin para sufi, meski dalam beberapa hal pula, ada beberapa oknum dari kelompok sufi yang salah paham, dan justru menganggap kisah tersebut sebagai perseteruan antara ilmu zahir dan ilmu batin, atau antara syariat dan hakikat. Bahkan, atas dasar kisah itu, aliran Bathiniyah beranggapan bahwa syariat hanya berlaku untuk para nabi dan kalangan awam, tidak berlaku untuk kalangan wali atau kalangan khawâsh.

Al-Khidir memang begitu lekat dengan benak kaum sufi. Syekh Muhammad al-Kasanzan, Khalifah Tarekat Qadiriyah dunia pada akhir Abad 14 Hijriah, menyatakan bahwa al-Khidir adalah ramzun lit-tharîq al-mûshil ilal-hayât al-khadhrâ’ al-abadiyah. Berarti dalam anggapan beliau, al-Khidir adalah semacam perlambang bagi jalan tasawuf.

Menurutnya, kata “khidr” adalah lambang kehidupan. Khidir memiliki akar kata yang sama dengan khudrah yang berarti hijau. Hijau adalah lambang kehidupan. Secara jasmani beliau hidup dalam masa yang panjang, dan secara ruhani beliau adalah lambang kehidupan batin.

Kenyataannya, al-Khidir memang menjadi ikon yang tak tergantikan dalam perjalanan kehidupan sufistik. Kisah para tokoh sufi, baik para wali yang masyhur di tingkat dunia ataupun para wali yang masyhur di tingkat lokal, nyaris tak pernah lepas dari dengan “bumbu” kedatangan beliau. Bahkan, beliau terkesan seperti menjadi pemberi stempel bagi status kewalian.

Karena banyaknya pengalaman mistik para sufi dengan al-Khidir ini, maka mereka menjadi kelompok yang paling gigih dalam membela pandangan teologis bahwa al-Khidir masih hidup. Bagi kalangan sufi, keberadaan al-Khidir adalah nyata dan bersentuhan langsung dengan dunia empiris mereka.

Dalam referensi-referensi tasawuf tidak terlalu sulit menemukan kisah-kisah pertemuan para sufi dengan al-Khidir u. Seperti dalam kisah-kisah Umar bin Abdil Aziz, Ibrahim bin Adham, Abdullah bin al-Mubarak, al-Junaid al-Baghdadi, al-Khawwash, Ahmad ar-Rifa’i, dan tokoh-tokoh sufi masyhur yang lain.

Syekh Abdul Qadir al-Jilani, tercatat memiliki kisah yang cukup banyak dengan Al-Khidir. Al-Khidir menjadi semacam pembimbing bagi beliau, mulai sejak tirakat pengembaraan selama 25 tahun, hingga beliau menetap di Baghdad dan menjadi tokoh besar yang didatangi oleh para salik dari seluruh penjuru dunia. Sebelum masuk ke Baghdad dan mengakhiri tirâkat pengembaraannya, konon al-Khidir menyuruhnya untuk tirâkat di pinggir sungai di tepi Baghdad selama 7 tahun. Beliau makan dari rumput dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya, hingga warna hijau rumput membekas di lehernya. Setelah itu, al-Khidir mengatakan, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”

Selain Syekh Abdul Qadir al-Jilani, tokoh sufi lain yang memiliki banyak kisah dengan al-Khidir adalah Ibnu Arabi. Beliau menceritakan sendiri kisah-kisah itu dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah

Maka, tidak heran jika Muhammad Ghazi Arabi, seorang peneliti tasawuf di jazirah Arab yang masih semasa dengan Syekh al-Kasanzan, menyatakan, “Khidir adalah guru kalangan sufi. Beliaulah yang menjadi penuntun dalam perjalanan panjang mereka. Maka, bagi para sufi, Khidir adalah guru, teman bicara, dan kawan terbaik yang pernah menyertai mereka. Dialah gurunya para syekh.  Ia membimbing dan menuntun para salik, langkah demi langkah.”

Apa yang diungkapkan oleh Ghazi Arabi itu sangat pas dengan konsepsi para sufi tentang al-Khidir. Pertemuan dengan al-Khidir selalu membawa pesan yang sangat berharga bagi jalan suluk yang mereka tempuh. Bagi mereka, al-Khidir memang pembimbing yang paling teduh, seteduh warna hijau yang terpantul di dalam namanya.

Mereka Lebih Suka Menyebutnya Wali

Umumnya orang lebih suka menyematkan kata “nabi” kepada al-Khidir. Tapi tidak dengan para sufi. Mereka merupakan kelompok yang paling gigih menyatakan bahwa al-Khidir adalah Waliyullah. Pendiri tarekat Tijaniyah, Syekh Abul Abbas at-Tijani, menyatakan, “Ketahuilah, al-Khidir itu adalah seorang Wali, bukan Nabi menurut pendapat mayoritas.”

Syekh Ibnu Arabi menyatakan, “Perdebatan mengenai status al-Khidir, apakah beliau nabi atau wali, hanya terjadi di kalangan ulama-ulama zhâhir, bukan di kalangan kita (kalangan sufi atau kalangan batin). Dalam pandangan kita, tak ada perdebatan, bahwa al-Khidir adalah wali, bukan nabi.”

Lebih jauh, Syekh Muhammad al-Makki menyatakan bahwa dalam pandangan kaum sufi, al-Khidir mencapai Maqâm al-Afrad. Maqâm ini berada di atas para wali shiddiqîn tapi masih di bawah maqâm-nya para nabi.

Dalam istilah Ibnu Arabi, maqam ini disebut khatmul-auliya (pemungkas para wali). Pada tingkat ini, seorang wali bisa melakukan penggabungan di antara dua syariat. Juga, memiliki akses jalan pintas untuk memahami kebenaran syariat tanpa melalui proses berpikir. Mula-mula derajat khatmul-auliyâ’ dicetuskan oleh al-Hakim at-Tirmidzi, tokoh sufi dari Balkh, dan sempat menjadi perdebatan sengit. Al-Hakim at-Tirmidzi bahkan sempat diusir dari Balkh karena dianggap menyetarakan wali atau bahkan melebihkan mereka atas para nabi.

Kecenderungan kelompok sufi menyatakan bahwa al-Khidir adalah wali memiliki kaitan erat dengan anggapan mereka bahwa beliau adalah simbol dan ikon bagi kalangan sufi. Sementara, tingkat spiritual yang menjadi wilayah para sufi adalah kewalian.

Jika ditelusuri lebih lanjut, hal itu tetap bermuara pada kisah pertemuan al-Khidir dengan Nabi Musa. Apa yang dilakukan oleh al-Khidir saat itu sarat dengan urusan hakikat. Sementara, hakikat atau batin, merupakan poros utama kalangan sufi dalam membangun pola pikir mereka.

Oleh karena itu, pernyataan al-Khidir sebagai wali ditolak oleh beberapa kalangan di luar kelompok sufi. Mereka cenderung menyatakan bahwa al-Khidir adalah nabi. Beliau mendapatkan wahyu dan syariat dari Allah yang berbeda dengan syariat Nabi Musa. Karena beliau memang bukan umat Nabi Musa, maka syariat yang digunakan juga bukan syariat Nabi Musa.

Jika status al-Khidir adalah wali, maka kisahnya bersama Nabi Musa memberikan kesimpulan bahwa seseorang bisa melakukan sesuatu berdasarkan ilham. Sebab, al-Qur’an sendiri memberikan pengakuan terhadap apa yang dilakukan oleh al-Khidir dalam kisah itu. Padahal, penerima ilham bukanlah orang yang maksum, masih mungkin salah.

Maka, menjadikan ilham sebagai landasan yang sah dalam melakukan sesuatu berpotensi merusak tatanan syariat, kecuali jika ilham itu hanyalah dipahami sebagai pijakan sekunder yang harus patuh sepenuhnya pada ketentuan syariat.

Jadi, kubu ini beranggapan bahwa poros perdebatan status al-Khidir sebetulnya terletak pada polemik mengenai kekuatan hakikat: apakah hakikat bisa mem-bypass syariat?. Jika al-Khidir adalah nabi, berarti kisah Musa-Khidir adalah kisah tentang perbedaan antara satu syariat dengan syariat yang lain, dan itu sudah lumrah terjadi. Jika al-Khidir adalah wali, maka kisah itu adalah kisah tentang kekalahan syariat dari hakikat atau kekalahan wahyu dari ilham.

Anggapan tersebut boleh jadi benar, tapi mungkin juga lahir karena kecurigaan yang berlebihan. Sebab, mayoritas ulama dari kalangan sufi sangat menjunjung tinggi syariat, meskipun mereka tidak menentang status al-Khidir sebagai wali.

Komitmen yang luar biasa terhadap syariat dengan sangat mudah kita temukan dalam berbagai pernyataan Imam al-Junaid, Imam al-Ghazali, Abu Thalib al-Makki, dan ulama-ulama sufi yang lain. Padahal, Imam al-Ghazali dan Abu Thalib al-Makki juga tidak menentang status al-Khidir sebagai wali. Dalam Ihyâ’ dan Qutul-Qulub, dua ulama sufi itu sama-sama mengutip mimpi Ibrahim at-Taimi. Ibrahim bermimpi bertemu Rasulullah r, mengonfirmasi Hadis yang pernah diterimanya dari al-Khidir, apakah Hadis itu betul dari beliau?. “Benar al-Khidir, benar al-Khidir. Semua apa yang ia ceritakan adalah benar. Dia penghuni bumi yang paling alim. Dia pemimpin pada wali abdal...” jawab beliau dalam mimpi Ibrahim.

Baik Imam al-Ghazali maupun Abu Thalib al-Makki sama-sama tidak memberikan catatan apapun terhadap mimpi Ibrahim ini. Berarti secara tersirat, beliau menyetujuinya. Padahal, beliau merupakan ulama sufi yang sangat gigih dalam membela syariat.

Apapun status al-Khidir dalam kisahnya bersama Nabi Musa, hal itu tetap tak mempengaruhi kekuatan syariat. Bagi siapapun syariat adalah pedoman mutlak. Tanpa prinsip itu, tatanan keagamaan akan jadi amburadul.
Sumber: Buletin Sidogiri
Read more

Khatamul Auliya’ ( Pamungkasan Para Waliyullah )

Imam at-Tairmidzy al-Hakim, seorang filosof agung dan Sufi terbesar di zamannya pernah menulis tentang Khatamul Auliya’ (Pamungkas para wali), sebagai konsep mengembangkan pamungkas para Nabi (Khatimul Anbiya’). Ibu Araby dalam kitabnya yang paling komprehensif sepanjang zaman, Al-Futuhatul Makiyyah. Disanalah Ibnu Araby menjawab 155 pertanyaan dalam Khatamul Auliya’-nya At-Tirmidy. Dalam pertanyaan pertama berbunyi:

Berapakah Manazil (tempat pijakan ruhani) para Auliya’?
Ibnu Araby menjawab: Ketahuilah bahwa manazil Auliya’ ada dua macam. Pertama bersifat Inderawi (hissiyah) dan kedua bersifat Maknawy. Posisi pijakan ruhani (manzilah) yang bersifat inderawi, adalah syurga, walau pun di syurga itu ada seratus jumlah derajatnya. Sedangkan manzilah mereka di dunia yang bersifat inderawi adalah ahwal mereka yang seringkali melahirkan sesuatu yang luar biasa. Diantara mereka ada ditampakkan oleh Allah seperti Wali-wali Abdal dan sejenisnya. Ada juga yang tidak ditampakkan seperti kalangan Wali Malamatiyah serta para kaum ‘Arifin yang agung, jumlah pijakan mereka lebih dari 100 tempat pijakan ruhani. Setiap masing-masing tempat itu berkembang menjadi sekian tempat yang begitu banyak. Demikian pijakan ruhani mereka yang bersifat inderawi di dua alam (dunia dan akhirat).

Sedangkan yang bersifat Maknawy dalam dimensi-dimensi kema’rifatan, maka manzilah mereka 248 ribu tempat pijakan ruhani hakiki yang tidak dapat diraih oleh ummat-ummat sebelum Nabi kita Muhammad SAW, dengan rasa ruhani yang berbeda-beda, dan masing-masing rasa ruhani memiliki rasa yang spesial yang hanya diketahui oleh yang merasakan.

Jumlah tersebut tersari dalam empat maqamat: 1) Maqam Ilmu Ladunny, 2) Maqam Ilmu Nur, 3) Maqam Ilmu al-Jam’u dan at-Tafriqat, 4) Maqam Ilmu Al-Kitabah al-Ilahiyyah. Diantara Maqamat itu adalah maqam-amaqam Auliya’ yang terbagi dalam 100 ribu lebih maqam Auliya, dan masing-masing masih bercabang banyak, yang bisa dihitung, namun bukan pada tempatnya mengurai di sini.

Mengenai Ilmu Ladunny berhubungan dengan nunasa-nuansa Ilahiyah dan sejumlah serapannya berupa Rahmat khusus. Sedangkan Ilmu Nur, tampak kekuatannya pada cakrawala ruhani paling luhur, ribuan Tahun Ilahiyah sebelum lahirnya Adam as. Sementara Ilmu Jam’i dan Tafriqah adalah Lautan Ilahiyah yang meliputi secara universal, dimana Lauhul Mahfudz sebagai abian dari Lautan itu. Dari situ pula melahirkan Akal Awal, dan seluruh cakrawala tertinggi mencerap darinya. Dan sekali lagi, para Auliya selain ummat ini tidak bisa mencerapnya. Namun diantara para Auliya’ ada yang mampu meraih secara keseluruhan ragam itu, seperti Abu Yazid al-Busthamy, dan Sahl bin Abdullah, serta ada pula yang hanya meraih sebagian. Para Auliya’ di kalangan ummat ini dari perspektif pengetahuan ini ada hembusan ruh dalam lorong jiwanya, dan tak ada yang sempurna kecuali dari Auliya’ ummat ini sebagai pemuliaan dan pertolongan Allah kepada mereka, karena kedudukan agung Nabi mereka Sayyidina Muhammad SAW.

Di dalam pengetahuan tersebut tersembunyi rahasia-rahasia ilmu pengetahuan yang sesungguhnya berada dalam tiga pijakan dasar ruhani pengetahuan: 1) Pengetahuan yang berhubungan dengan Ilahiyyah, 2) Pengetahuan yang berhubungan dengan ruh-ruh yang luhur, dan 3) Pengetahuan yang berhubungan dengan maujud-maujud semesta.
Yang berhubungan dengan ilmu ruh-ruh yang luhur menjadi beragam tanpa adanya kemustahilan kontradiktif. Sedangkan yang berhubungan dengan maujud alam beragam, dan memiliki kemustahilan dengan kontradiksi kemustahilannya.

Jika pengetahuan terbagi dalam tiga dasar utama itu, maka para Auliya’ juga terbagi dalam tiga lapisan: Lapisan Tengah (Ath-Thabaqatul Wustha), memiliki 123 ribu pijakan ruhani, dan 87 manzilah utama, yang menjadi sumber serapan dari masing-masing manzilah yang tidak bisa dibatasi, karena terjadinya interaksi satu sama lainnya, dan tidak ada yang meraih manfaatnya kecuali dengan Rasa Khusus. Sementara lapisan yang sisanya, (dua lapisan) muncul dengan pakaian kebesaran dan sarung keagungan. Hanya saja keduanya yang menggunakan sarung keagungan itu memiliki mazilah lebih dari 123 ribu itu. Sebab pakaian kebesaran merupakan penampakan dari AsmaNya Yang Maha Dzahir, sedangkan sarungnya adalah penampakan dari AsmaNya Yang Maha Batin. Yang Dzahir adalah asal tonggaknya, dan Yang Batin adalah karakter baru, dimana dengan kebaruannya muncullah pijakan-pijakan ruhani (manazil) ini.

Cabang senantiasa menjadi tempatnya buah. Maka apa yang ditemukan pada cabang itu merupakan sesuatu yang tidak ditemukan dalam tonggaknya, yaitu buah. Walaupun dua cabang di atas itu munculnya dari satu tonggak utamanya yaitu AsdmaNya Yang Maha Dzahir, tetapi hukumnya berbeda. Ma’rifat kita kepada Tuhan, muncul setelah kita mengenal diri kita, sebab itu “Siapa yang kenal dirinya, kenal Tuhannya”. Walaupun wujud diri kita sesungguhnya merupakan cabang dari dari Wujug Rabb. Wujud Rabb adalah tonggal asal, dan wujud hamba adalah cabang belaka. Dalam Martabat bisa akan mendahului, sehingga bagiNya ada Nama Al-Awwal, dan dalam suatu martabat diakhirkan, sehingga ada Nama Yang Maha Akhir. Disatu sisi dihukumi sebagai Asal karena nisbat khusus, dan dilain sisi disehukumi sebagai Cabang karena nisbat yang lain. Inilah yang bisa dinalar oleh analisa akal. Sedangkan yang dirasakan oleh limpahan Ma’rifat Rasa, maka Dia adalah Dzahir dari segi bahwa Dia adalah Batin, dan Dia adalah Batin dari segi kenyataanNya Yang Dzahir, dan Awwal dari kenyataanNya adalah Akhir, demikian pula dalam Akhir.

Swedangkan jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah itu, ada356 sosok, yang mereka itu adala dalam kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut demikian.

Sedangkan menurut thariqat kami dan yang muncul dari mukasyafah, maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah kami sebut diatas di awal bab ini, sampai berjumlah 589 orang. Diantara mereka ada 1 orang, yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammady, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammady pada zaman ini (zaman Ibnu Araby, red), kami telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H.
Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya’, yaitu para Wali : Ummahat, Aqthab; A’immah; Autad; Abdal; Nuqaba’; dan Nujaba’.

Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya’ sebagaimana gelar yang disandang Khatamun Nubuwwah oleh Nabi Muhammad SAW.? Ibnu Araby menjawab:

Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Isa Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Isa, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tertapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad SAW, bergabung dengan para Wali dari ummat Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.

Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam As. Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.

Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (era Ibnu Araby) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal ditahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Khatamul Wilayah darinya. Dia adalah Khatamun Nubuwwah Mutlak, yang tidak diketahui banyak orang. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirrnya.

Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syari'at dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammady, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya' Muhammady , dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad SAW. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Isa Alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya.

Wallahu A’lam bish-Shawab.
Read more

Biografi Imam Dzun-Nun Al-Misry

Nama lengkap Dzun-Nun Al-Mishri adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun 246 H/856 M dan makam kan dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin AL Harun.[3] Ia adalah seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika dan dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara konsepsional. Nama Dzun-Nun mempunyai makna tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah ”seseorang yang mempunyai huruf Nun dari mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri pula bahwa huruf Nun adalah sebuah simbol yang mempunyai makna spiritual power. Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf Nun ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.

Kaum sufi juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzun-Nun Al-Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama dari dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf Nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT. Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Huwa al-Awwalu waal-Aakhiru waal-Dhaahiru wal-Baathinu wa-Huwa Bikulli Syay-in 'Aliimun”

Artinya : Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).


Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan huruf Nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik sentral tersebut adalah sesuatu yang awal dan yang akhir.

Sang Wali yang Haus Hikmah


Sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan sang pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A'rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Dzunnun al-Misry. Kendati demikian besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.

Perjalanan Menuju Mesir

Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatulah yang hakiki.

Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya: "ada apa ini?". Orang tersebut menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik ". Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini ?" begitu pikir sang wali. Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab : "Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meningal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga ". Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar ". Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).

Perjalanan ke Dunia Tasawuf

Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.

Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya "Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia memanggil demi menghormatinya "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? ". "Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu". Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad : "Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku".

Perjalanan Ruhaniah

Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufi pun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.

Maka demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah.

Suatu malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap menuju tempat untuk ber-munajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa "Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmatmu. Tuhanku… Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Zat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya' dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa". Dengan khusyu' Dzunnun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya sang malam namun menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini.

Di saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. " Aku harus menemuinya " begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan iapun bisa menemukan kediaman lelaki misterius. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzunnun bertanya : "Apakah keselamatan itu?". Orang tersebut menjawab "Keselamatan ada dalam ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)". "Selain itu ?". pinta Dzunnun seperti kurang puas. "Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!". "Selain itu ?" pinta Dzunnun lagi. "Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus". Lalu orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Misri dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.

Kealiman
Dzun-Nun al-Misri

Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzunnun al-Misri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membanyah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan al-Ahwal dan al-Maqomaat para wali Allah.

Maslamah bin Qasim mengatakan "Dzunnun adalah seorang yang alim, zuhud wara', mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits". Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibn Luha'iah, Fudhail ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah al-Hasan bin Mus'ab al-Nakha'i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, al-Tho'i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman al-Sulamy menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah meriwayatkan hadis Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi " Dunia adalah penjara orang mu'min dan surga bagi orang kafir".

Di samping lihai dalam ilmu-ilmu Syara', sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja.

Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu 'dhahir' timbul rasa iri dan dan tidak senang karena Dzunnun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzunnun mempunyai kelebihan ilmu Robbany yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang Zindiq yang memporak-porandakan syari'at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. "Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?". Tanya khalifah kemudian. "Begitulah mereka mengatakan". Salah satu pegawai raja menyela : "Amir al-Mu'minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud ayo bicaralah".

Dzunnun menundukkan muka sebentar lalu berkata "Wahai amiirul mukminin…. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembahnya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi…….".

Dzunnun meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah terpenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzunnun. Dengan wibawa khalifah berkata pada orang-orang datang menghadiri mahkamah ini : "Kalau mereka ini orang-orang Zindiq maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini". Sejak saat itu Khalifah al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang yang Wara' maka dia akan menangis dan berkata "Ketika disebut orang yang Wara' maka marilah kita menyebut Dzunnun".

Pujian para ulama' terhadap Dzun-Nun

Tidak ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji. Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan berikut ini hadir.

Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan "Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Haal, dan adab". Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan "Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry". Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan "Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita".

Pujian dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : “Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab "Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku : berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".

Cinta dan ma'rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?". "Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".

Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)".

Karomah Dzun-Nun al-Misri


Imam al-Nabhani dalam kitabnya “Jami' al-karamaat “ mengatakan: “Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad al-Sulami: “Suatu ketika aku menghadap pada Dzunnun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak Ambar. Lalu beliau berkata padaku "engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira". Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota di Iran).

Suatu hari Abu Ja'far ada di samping Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan "Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya". Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.

Imam Abdul Wahhab al-Sya'roni mengatakan: “Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata "Anakku telah dimangsa buaya". Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke sungai Nil sambil berkata "Ya Allah… keluarkan buaya itu". Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata "Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT".

Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar Dzun Nun al-Misri yang wafat pada tahun 245 H. Semoga Allah meridlainya.
Wallahu a’lam.

Sumber: dinul-islam
Read more