Paham ASWAJA dan ke-NU-an

1. Paham (Madzhab) Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai suatu paham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui, fikih atau tasawwuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda.

Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam islam ada beberapa macam madzhab, diantaranya madzhab politik, seperti Khawarij, Syi’ah, dan Ahlus Sunnah; madzab kalam, contoh terpentingnya adalah Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fikih, misal yang utama adalah Malikiyah, Syafi’yah, Hanafiyah, dan Hambaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi’ah, Zhahiriyah dan Ibadiyah (Al-Mausu’ah Al-Arabiyah Al-Muyassarah, 1965:97).

Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, “Ahlun”, “As-Sunnah”, dan “Al-Jama’ah”. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan, bukan sesuatau yang terpisah-pisah.

a. Arti Kata AHLUN

Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal A’lam, kata “Ahl” mengandung dua makna, yakni selain makna keluarga dan kerabat, “Ahl” juga bisa berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab. Jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum dalam Al-Qamus Al-Muhith.

Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, sekurang-kurangnya ada tiga makna dari “Ahl”:
  • Pertama; “Ahl” berarti keluarga, sebagaiman firman Allah QS. Hud ayat 45: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku.” Juga dalam QS. Thahaa ayat 132: ”Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. ”
  • Kedua; ”Ahl” , berarti penduduk, seperti dalam firman Allah QS. Al-A’raf ayat 96: “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
  • Ketiga; “Ahl” berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; (Ahli Sejarah, Ahli Kimia). Sebagaimana Allah berfirman QS. An-Nahl ayat 43: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (yakni orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan kitab-kitab) jika kamu tidak mengetahui.”
b. Arti Kata AS-SUNNAH

Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyat, secara bahasa, “As-Sunnah” berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, Ath-Thariqah, Al-Hadits, As-Sirah, At-Tabi’ah dan Asy-Syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah saw, baik perkataan, perbuatan, pengakuan maupun keinginan dan cita-cita beliau.

Maka dalam hal ini As-Sunnah dibagi menjadi 3 atau 4 macam. Pertama; As-Sunnah Al-Qauliyah, yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah saw. Kedua As-Sunnah Al-Fi’liyyah, yaitu sunnah Nabi yang berupa perbuatan atau pekerjaan Rasulullah saw. Ketiga; As-Sunnah At-Taqriryah, yakni segala perkataan dan perbuatan para sahabat yang didengar dan diketahui Rasulullah saw, kemudian beliau mendiamkan sebagai tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, As-Sunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para sahabat Nabi (Atsarus Shahabah). Dan yang ke-empatnya; As-Sunnah Al-Hammiyah, yakni keinginan Rasulullah saw untuk melakukan suatu amalan tetapi belum sampai melaksanakannya beliau telah wafat, seperti puasa sunnah 10 Muharram.

c. Arti Kata JAMA'AH

Menurut kamus Al-Munjid, kata “Al-Jama’ah” berarti segala sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, “Al-Jama’ah” adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian “Al-Jama’ah” secara syari’ah ialah kelompok mayoritas dalam golongan islam.

Dari pengertian etimoligis di atas, maka makna Ahlussunnah wal Jama’ah dalam sejarah islam adalah golongan terbesar umat islam yang mengikuti system pemahaman islam, baik dalam tauhid dan fikih dengan mengutamakan Al-Qur’an dan Hadits daripada dalil akal. Hal itu sebagaimana tercantum dalam sunnah Rasulullah saw dan sunnah (atsar) Khulafa’urrasyidin ra. Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dalam banyak hal serupa dengan istilah Ahlussunnah wal Jama’ah wal Atsar, Ahlul Hadits Wassunnah, Ahlussunnah Wal-Ashhab Al-Hadits, Ahlussunnah Wal Istiqamah, dan Ahlul Haqq Wassunnah.

Untuk menguatkan hal-hal di atas terdapat beberapa hadits yang dapat dikemukakan misalnya, dalam kitab Faidhul Qadir juz II, lalu kitabSunan Abi Daud juz IV, kitab Sunan Tirmidzi juz V, kitab Sunan Ibnu Majahjuz II dan dalam kitab Al-Milal wa Nihal juz I, secara berurutan teks dalam kitab-kitab tersebut, sebagaimana berikut :

Dari Anas ra berkata, Rasululah saw bersabda, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti golongan yang terbanyak.”

“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat hidayah, peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin dengan kuat dan gigitlah dengan geraham.”

“Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka (sahabat) bertanya : Siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab; “Mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku.”

Dari sahabat A’uf ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Demi yang jiwa saya ditangan-Nya, benar-benar akan pecah umatku menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan 72 golongan masuk neraka,” ditanyakan, siapa yang masuk surga ya Rasulullah? Beliau menjawab, “Golongan mayoritas (jama’ah).”

Dan yang dimaksud dengan golongan mayoritas adalah mereka yang sesuai dengan sunnah para sahabat. Rasulullah saw menyampaikan, “Akan pecah umatku akan menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur.” Ditanyakan siapakah yang selamat ya Rasulullah? Beliau menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah.” Ditanyakan lagi siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin.”

2. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul tahun 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar kemana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau juga dikenal dengan sebutan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik dan keagamaan kaum santri. Dari sanalah kemudian didiririkan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatut Tujjar itu, maka Taswirul Afkar selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Makkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhamadiyah di bawah Muhammad Dahlan, maupun PSII di bawah pimpinan HOS. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagamaan menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Konggres Al-Islam di Yokyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Muktamar Alam Islami (Konggres Islam Internasional) di Makkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesanten yang terhimpun dalam kalangan hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mungurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Makkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan para kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (Prinsip Dasar), kemudian juga merumuskan Kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khiththah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik (mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat).

3. Paham Keagamaan Nahdlatul Ulama (NU)

Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagai pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur’an dan Sunnah saja, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-’Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sementara dalam bidang tasawwuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawwuf dengan syari’at.

Gagasan kembali ke khiththah pada tahun 1926, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

4. Tujuan Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)

Menegakkan ajaran islam menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Usaha Organisasi :
  • Di bidang agama, melaksanakan dakwah islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  • Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur dan berpengetahuan luas.
  • Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-islaman dan kemanusiaan.
  • Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan perkembangan ekonomi rakyat.
5. Meneguhkan Nahdlatul Ulama (NU) Sebagai Lembaga Ke-Ulamaan

Persoalan keulamaan muncul kembali kepermukaan setelah ulama Yaman Habib Umar bin Habib bin Syeikh Abu Bakar dan dan Rais Syuriah PBNU KH. Ma’ruf Amin menegaskan tentang tanggung jawab sosial para ulama. Kedua ulama tersebut mensinyalir adanya penyimpangan peran ulama yang berakibat pada penyimpangan moral, sehingga melupakan tanggung jawab sosial yang harus mereka emban sebagai pembimbing dan pengayom umat, terutama sebagai teladan dalam bidan moral. Berbagai bencana yang timbul, baik bersifat alam atau sosial, akhirnya diakui sebagai bencana kemanusiaan yang diakibatkan oleh ulah manusia.

Sebagaimana sering dikatakan bahwa saat ini manusia termasuk para ulamanya cenderung Hubbud Dunya (cinta dunia/materi) sehingga melupakan tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial mereka, sehinga masyarakat berjalan tanpa bimbingan. Kalaupun menyimpang, para ulama pun tidak bisa memperingatkan, karena sebagian juga terlibat dalam penyimpangan, maka kerusakan menjadi merata tanpa ada otoritas yang mampu menghentikannya.

Kritik terhadap ulama itu mau tidak mau akan mengarah kepada Nahdlatul Ulama, sebab disamping merupakan sebagai organisasi para ulama, di dalamnya memang terdapat banyak para ulama. Bagaimana pun kritik tersebut harus diberhentikan oleh kalangan NU.

Ketika NU direduksi menjadi organisasi sosial, maka misi moral spiritual yang menjadi muatan dari gerakan sosial tersebut terabaikan, dengan demikian siapa saja bisa direkrut menjadi pengurus organisasi ini walaupun tanpa memiliki kualifikasi atau kadar keulamaan yang memadai. Tidak semua pengurus harus ulama, tetapi para praktisi, aktivis harus memahami dan menghayati tugas keulamaan yang tidak lain adalah tugas profetik (kenabian). Itu berarti bahwa berorganisasi tidak hanya bekerja, tetapi berjuang, mengabdi dan bahkan beribadah.

Sulitnya kaderisasi di lingkungan NU mengakibatkan rekrutmen kader berjalan asal-asalan, banyak orang yang tidak mengetahui dan memahami tentang NU serta misi perjuangan yang diemban, tetapi dijadikan pengurus. Kelompok semacam ini ketika masuk NU sering mengabaikan tugas mereka sebagai fungsionaris NU, sehingga kehilangan rasa dedikasi, militansi dan gairah berorganisasi, dan akhirnya banyak kendala dalam menghadapi gerakan islam transnasional yang militan dan radikal yang dengan gigihnya menanamkan pengaruhnya di masyarakat. Prioritas utama NU saat ini adalah memperkuat rasa pengabdian, komitmen ke-NU-an terutama komitmen keulamaan.

6. Ketulusan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Ukhuwah Islamiyah

Ukhuwah islamiyah merupakan sebuah keharusan bagi kaum muslimin yang menginginkan kebersamaan dan persaudaraan. Hal tersebut seringkali dimanipulasi. KH. Wahab Hasbullah pernah mengingatkan adanya Ukhuwah Kusir Kuda. Satu kelompok menjadi kusirnya, sementara kelompok islam lainnya dijadikan kuda tunggangannya. Ukhuwah islamiyah seringkali dilakukan ketika dalam kondisi terdesak, dan setelahnya mereka menerapkan prinsip Musabaqah (persaingan) yang tanpa kenal etika bahkan saling menafikkan.

Peristiwa yang sering dialami NU adalah bagaimana gigihnya membela kelompok islam minoritas yang tertindas seperti syi’ah, tetapi setelah ditolong malah mengerogoti akidah dan aset NU, sehingga di beberapa tempat sempat terjadi ketegangan. Demikian juga kelompok wahabi yang saat ini terlibat permusuhan sengit dengan kelompok syi’ah, tiba-tiba merapat ke NU sebagai kelompok islam sunni, padahal selama ini NU dianggap aliran bid’ah, sehingga keberadaannya selalu di usik dan diharu-biru.

Bagaimanapun NU tidak senang dengan islam yang selalu mengusik kepercayaan orang dengan menyebarkan brosur, propaganda serta gerilya dari pintu kepintu. Tetapi demi persatuan islam, NU tetap berusaha damai dengan kelompok tersebut. Hal itu dilakukan karena ada agenda besar yang lebih penting yang harus diraih yaitu menyatukan gerakan islam sedunia.

Ukhuwah harus didasari ketulusan hati, karena ada persamaan nilai, persamaan cita-cita, dan ukhuwah itu akan berjalan abadi diatas dasar saling percaya, saling menghormati dan mencintai. Sementara ukhuwah yang manipulatif hanya didasarkan pada kepentingan sesaat, dimana kepentingan ketika kepentingan sudah diraih, maka ukhuwah dicampakkan. Cinta kasih berubah jadi caci-maki, kebersamaan menjadi ancaman, ketulusan menjadi kebencian dan seterusnya. Di sanalah konflik antara aliran dan madzhab kembali berulang baik dalam bentuk yang latin seperti adanya ketegangan hingga dalam bentuk konflik yang terbuka.

7. Basis Pendukung Nahdlatul Ulama (NU)

Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari berbagai profesi.Sebagian besar dari mereka rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga memiliki semangat dan sangat menjiwai ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota. Maka saat ini dalam sektor perburuhan dan perindustrian cukup dominan, ditambah dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini

8. Sikap Tegas Nahdlatul Ulama (NU)

Sejak dulu NU dikenal sebagai organisasi yang moderat dan toleran. Namun demikian bukan berarti tidak punya sikap. Dalam menghadapi masalah prinsip, NU selalu bertindak tegas bahkan tanpa kompromi. Lihat bagaimana sikap yang ditujukan Ketua Umun PBNU KH. Hasyim Muzadi terhadap standar ganda negara-negara Barat mengenai soal muklir Iran. NU menganggap bahwa pelarangan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak bangsa Iran untuk mengembangkan teknologi mereka sendiri. Kalau mereka mau bersikap adil semua negara boleh mengembangkan teknologi nuklir dalam bentuk senjata nuklir.

Sikap dan langkah seperti ini yang ditempuh NU bukanlah sikap pasif, melainkan langkah aktif yang melelahkan dan penuh resiko dimusuhi banyak pihak. Namun demi menjaga keseimbangan kehidupan nasional dan situasi politik internasional, maka NU harus bertindak tegas baik terhadap kelompok islam atau barat yang manjalankan ektremisme serta kekerasan dan ketidakadilan. NU tidak membenci barat atau membenci sesama islam yang berlainan paham dan pemikiran, tetapi NU berusaha menegakkan keadilan dan perdamaian.

Karena itu, NU sangat mencela mereka yang menggunakan agama untuk mengobarkan konflik, padahal jelas bahwa tujuan konflik seringkali hanya untuk mengeruk kepentingan ekonomi oleh sebuah korporasi multi nasional yang sedang beroperasi. Celakanya agama yang harus dijadikan media pengobar konflik sekaligus menjadi korban.

Oleh karena itu NU mengingatkan kepada kaum beragama dan umat islam seluruh dunia agar selalu menjaga kerukunan agar tidak terprovokasi oleh upaya adu domba antar umat beragama maupun antar madzhab dalam islam, yang hanya akan melemahkan kekuatan dan persatuan umat islam.

9. Struktur Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)

1. Pengurus Besar (Tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (Tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (Tingkat Kabupaten/Kota)
4. Majelis Wakil Cabang (Tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (Tingkat Desa/Kelurahan)

Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
a. Mustasyar (Penasehat)
b. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)
c. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Sumber: MWCNU Sumbang