Biografi Syekh Ma’ruf Al-Karkhy

Nama lengkapnya adalah Ma'ruf bin Faizan Abu Mahfudz al-Ibid bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad,  Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan  Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah, namun para ahli sejarah tidak ada yang mengetahui tanggal dan tahun berapa beliau dilahirkan. Beliau adalah seorang sufi yang dikenal dengan Al-Karkhi, sebuah nama yang dinisbatkan kepada nama tempat kelahirannya Al-Karkhi.

Beliau dibesarkan di Baghdad dan dikota itu pula beliau menimba berbagai macam ilmu kepada para ulama fiqih dan memperdalam ilmu tasawuf kepada para sufi terkenal. Dari pergaulan dengan para sufi itulah membawa beliau menjadi seorang zahid. Sealain belajar di Baghdad, beliau juga mengembara kenegeri-negeri lain untuk menambah wawasan keilmuannya. Pengembaraan itu membawa dirinya banyak dikenal di negerri orang dan ia pun banyak dikunjungi banyak orangsehingga ia bukan hanya dikenal oleh penduduk bumi, namun juga dikenal oleh penghuni langit.
 
 
Sebagai seorang sufi yang terkenal beliau mempunyai beberapa keistimewaan dan kelebihan, antrara lain sebagai berikut :
  • Beliau banyak dikunjungi oleh orang-orang sebelumnya tidak dikenal. Mereka berkunjung kepada Al-Karkhi karena mereka pernah bermimpi mengunjungi beliau.
  • Salah seorang murid beliau yang bermana Sarri As-Saqathi pernah menuturkan, "Dalam tidurku, aku pernah bermimpi melihat Ma'ruf al-Karkhi seolah berada di Arasy. Pada waktu itu, Allah SWT berfirman: "Siapakah dia?" Para Malaikat menjawab, "Engkau lebih mengetahui ya Tuhan". Maka Allah SWT. berfirman: "Orang itu adalah Ma'ruf Al-Karkhi yang sedang mabuk Cinta kepadaKu".
Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya.  Kebesarannya diakui berbagai golongan

Nama sufi ini tidak terlalu  populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuler Syekh  Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah  Ma'ruf Al-Karkhi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia  Tasawuf yang jiwanya selalu
diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada  sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi  sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sirry Al-Saqaty, yang terpengaruh  gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus  Rabi'ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.

Menurut  Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya,  orang tua Ma'ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru  sekolahnya berkata, "Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga", tapi Ma'ruf membantah, "Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa."

Mendengar  jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma'ruf tetap dengan  pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma'ruf  melarikan diri. Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia  pergi, orang tua Ma'ruf berkata, "Asalkan ia mau pulang, agama apapun  yang dianutnya akan kami anut pula. "Ternyata Ma'ruf menghadap Ali bin  Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.

Tak  beberapa lama, Ma'ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. "Siapakah itu" tanya orang tuanya. "Ma'ruf", jawabnya. "Agama apa yang engkau anut?" tanya orang tuanya. "Agama Muhammad, Rasulullah", jawab Ma'ruf.  Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun langsung memeluk Islam.

Cinta  Ilahiyah

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud Al-Tsani,  ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu  menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang  sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu  tasawuf dan
mengembangkan paham cinta Ilahiah.

Menurut Ma'ruf,  rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar,  melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran  tasawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma'ruf  merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT.  Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma'ruf Al-Karhy yang  pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah  yang mendefinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap  zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.

Masih menurut Ma'ruf,  seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu  yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak  mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan,  sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang  salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti  Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan  yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah  SWT.

Gambaran tentang Ma'ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya  sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, "Kulihat ada goresan  bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak  terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?"Ma'ruf pun menjawab,  "Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal  yang berfaedah bagimu."

Tapi Manshur terus mendesak. "Demi Allah, jelaskan kepadaku", maka Ma'ruf pun menjawab. "Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka'bah. Doaku itu  terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan  mukaku terbentur sehingga wajahku luka."

Pada suatu hari Ma'ruf  berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda  yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda  itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma'ruf mendesak agar gurunya  berdo'a kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal.  Maka Ma'ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia  berdoa, "Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka  kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat  nanti." Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. "Tunggulah sebentar,  kalian akan mengetahui rahasianya", ujar Ma'ruf.

Beberapa saat  kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma'ruf, mereka  segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan  gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma'ruf dan bertobat. Lalu kata  Syekh Ma'ruf kepada muridnya, "Kalian saksikan, betapa doa kalian  dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun juga."

Ma'ruf  mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur  melihat Ma'ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing.  Menyaksikan itu pamannya berseru, "Tidakkah engkau malu makan roti  bersama seekor Anjing?" maka sahut sang kemenakan, "Justru karena punya  rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin." Kemudian  ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat  kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma'ruf. Lalu  katanya kepada sang paman, "Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala  sesuatu akan malu pada dirinya". Mendengar itu, pamannya terdiam, tak  dapat berkata apa-apa.

Suatu hari beberapa orang syiah mendobrak  pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma'ruf hingga  tulang rusuknya patah. Ma'ruf tergelatak dengan luka cukup parah,  melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, "Sampaikan wasiatmu yang  terakhir", maka Ma'ruf pun berwasiat. "Apabila aku mati, lepaskanlah  pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin meninggalkan dunia ini dalam  keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku."

Sarri  as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat  Ma'ruf tengah memunguti biji-biji kurma. "Apa yang sedang engkau  lakukan?" tanyaku.
Ia menjawab, "Aku melihat seorang anak  menangis. Aku bertanya, "Mengapa engkau menangis?" ia menjawab. "Aku  adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu, Anak-anak yang lain mendapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka  juga dapat kacang, sedangkan aku tidak," lalu akupun memunguti  biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan  kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama  anak-anak lain. "Biarkan aku yang mengurusnya," kataku.
Akupun  membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat  gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan  sejak saat itu, akupun berubah.

Suatu hari Ma'ruf batal wudlu. Ia  pun segera bertayamum. Orang-orang yang melihatnya bertanya,  "Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?" Ma'ruf menjawab,  "Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu."

Ketika  Ma'ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang berta'ziyah,  Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para  sahabatnya membaca wasiat almarhum: "Jika ada kaum yang dapat mengangkat  peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka". Kemudian orang  Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika  tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka  menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

Wallahu A'lam Bisshawab.